Orangtua yang ingin anaknya cerdas – dalam arti otaknya berkembang secara optimal – sebetulnya tak perlu repot-repot menyekolahkannya ke playgroup mahal atau membelikannya mainan impor dengan harga selangit. Pertanyaan kuncinya: dari siapa anak itu belajar berbahasa dan berbicara?
Ya, dari siapa anak-anak kita belajar bicara? Dari menyimak layar televisi, atau interaksi dengan manusia sungguhan? Dari orangtua atau pengasuh (dan seberapa terampil sang pengasuh berbahasa)? Lewat interaksi intensif dua arah yang penuh kasih, atau sekadar ceramah, bahkan amarah?
Bahasa adalah ciri khas dan faktor unggul budaya manusia. Selain untuk berkomunikasi, bahasa mengasah kapasitas mental anak. Dia jadi mampu berpikir logis dan menalar secara kompleks. Cara anak mempelajari keterampilan berbahasa (lisan maupun tulisan) akan sangat menentukan apakah otaknya akan berkembang optimal atau tidak.
Kebutuhan Berbahasa di Usia Dini
Di usia dini, otak anak rakus sekali mencari stimulasi bahasa, namun memasuki fase pubertas, pola-pola berbahasanya makin mengerak dan sulit untuk berubah. Charlotte Mason sendiri mengingatkan, jika anak tiba di usia 12 tahun dalam kondisi masih tidak suka membaca, akan susah sekali membuatnya suka membaca di kemudian hari.
Perkembangan kecerdasan dan keterampilan berbahasa anak menuntut mutu dan jumlah interaksi yang cukup selama tahun-tahun pertamanya. Titik awalnya adalah percakapan macam apa yang dibiasakan di rumah: anak-anak harus diberi kesempatan untuk berbicara, bukan hanya mendengar! Anak-anak butuh ditanggapi, bukan hanya menggumam bagi dirinya sendiri. Itu sebabnya televisi dan gawai apa pun adalah mitra berbahasa yang buruk karena sifatnya selalu searah.
Riset menunjukkan bahwa pengalaman berbahasa anak di rumah memiliki dampak besar dalam jangka panjang pada prestasi akademisnya. Bahkan pada anak-anak berkebutuhan khusus, seperti penyandang Down’s Syndrome, interaksi yang sehat antara orangtua dan anak bisa membuat masa depan mereka di sekolah lebih baik.
Studi lain mendapati, hanya dengan memberi orangtua pelatihan “bermain sambil belajar” pada saat bayi mereka berumur 30 bulan dapat membuat bayi-bayi itu tumbuh menjadi anak-anak yang unggul dalam kemampuan memahami bacaan sampai 10 tahun berikutnya.
Tak ada playgroup atau mainan yang bisa menggantikan ayah dan ibu yang mau mendengar anaknya mengoceh, menanggapi ocehan itu, memancing dia untuk lebih banyak bicara, ikut serta dalam permainan mereka, memberikan bimbingan tanpa memaksa, dan senantiasa siap memfasilitasi minat mereka dan mengembangkan wawasan mereka. Orangtua yang terinformasi tentang ilmu perkembangan anak dan mau sepenuh hati terjun langsung mendampingi anaknya adalah berkah yang tak ada bandingannya dalam kehidupan seorang anak!
Generasi Pembaca Status
Bahasa adalah perkakas amat-sangat penting untuk berpikir. Sayangnya masalah anak dengan keterampilan berbahasa – dan berpikir – biasanya baru dikenali pada saat ia duduk di kelas 4 SD, ketika materi pelajaran menuntutnya berpikir lebih kompleks dalam mengorganisir informasi, memahami bacaan, dan menulis makin panjang. Jika tak tertangani, kemajuan akademis anak bakal makin terhambat sementara dia meneruskan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA.
Berapa banyak siswa yang tak mampu mengaitkan gagasan satu dengan gagasan lain secara logis, yang tak bisa mengungkapkan pikiran di kepalanya ke dalam argumen lisan atau ke atas kertas? Dan kabar buruknya adalah, keterampilan verbal yang rendah ini didapati merata pada anak-anak dari semua kelas sosial-ekonomi. Kepasifan berbahasa dan berpikir telah menjadi epidemi!
Kritikus budaya Neil Postman mengamati, kepasifan bahasa itu ada kaitannya dengan pergeseran budaya tulis ke budaya audio-visual. Mutu percakapan antar manusia era televisi turun drastis dibanding era buku. Pidato-pidato yang indah, esai-esai yang bermakna, buku-buku yang bernas makin sedikit dilahirkan – kalaupun ditulis, buku-buku “berat” ini makin sedikit pembacanya.
Generasi masa kini menjadi generasi media sosial pembaca status – kapasitas berbahasanya terbatas mencerna untuk bacaan pendek, instan, yang sebetulnya dangkal makna. Kalau sudah disodori buku sungguhan, apalagi yang tebal, langsung menyerah dan mengeluh “sulit!”.
Namun tak bisa juga menyalahkan begitu saja anak-anak muda ini. Memang penguasaan bahasa – mulai dari tata bahasa yang rumit, kekayaan kosakata, dan pemakaian yang tepat serta kontekstual – bukanlah anugrah yang mendadak jatuh dari langit. Semua akibat tentu ada sebabnya.
e-Nanny, Andalan Orangtua Masa Kini
“Duduk di depan TV … itulah pelatihan bahasa anak yang pertama dan terutama bagi kebanyakan siswa saya. Kini di kelas, saya harus menghadapi generasi anak muda yang terkondisi pasif berbahasa. Saya harus mengajari mereka bagaimana berkomunikasi verbal secara gamblang mulai dari tingkat yang paling dasar,” keluh Ibu Hamilton, seorang guru SMP yang diwawancarai Jane Healy untuk bukunya Endangered Minds.
Realitasnya, saat ini televisi dan gawai banyak digunakan berlebihan oleh orangtua sebagai e-Nanny (pengasuh elektronik). Ada sesuatu dalam budaya kita sekarang yang membuat orangtua makin dijauhkan dari anak-anak mereka sendiri. Ada sesuatu dalam dunia masa kini yang membuat ayah-ibu merasa makin tak punya waktu untuk anak-anaknya, tak sabar menghadapi mereka, tak tahu harus ngapain ketika bersama mereka.
Sebagian ayah-ibu merasa lebih nyaman lembur menggarap pekerjaan kantor daripada menghabiskan waktu dua jam untuk mendampingi anak-anak tanpa bantuan orang lain. Akhir pekan yang berharga pun banyak dihabiskan untuk melepas anak di arena bermain (playground) mal. Mereka disuruh bermain sendiri sementara ayah-ibunya sibuk texting atau browsing.
[Di sini saya jadi teringat tulisan dokter Tan Shot Yen: waktu terpenting bagi anak adalah saat bermain dan saat tidur; merasa kesulitan menemani anak bermain dan ngeloni anak tidur adalah ciri dari orangtua yang ikatan emosionalnya dengan anak bermasalah!]
Pesan Untuk Orangtua
Pertama, jangan pernah remehkan stimulasi berbahasa pada satu tahun pertama usia anak hanya karena mereka belum bisa bicara. Jejaring syaraf otak (sinapsis) keterampilan berbahasa sedang dibentuk pada fase ini. Banyak-banyaklah mengajaknya bicara, karena otaknya akan belajar mengenali pola bunyi dan nuansa bahasa ibunya. Lakukanlah berbagai permainan menyenangkan seperti cilukba dan tepuk tangan.
Kedua, sebisa mungkin dampingi sendiri buah hati Anda. Ada studi yang membandingkan interaksi antara anak-anak dengan orangtuanya dengan pengasuh selain orangtua. Orangtua didapati punya naluri yang lebih baik untuk mengenali kebutuhan anaknya dan berkomunikasi secara lebih alamiah dibanding pengasuh dewasa lain.
Kalau si pengasuh berbeda keterampilan berbahasanya dari kita, tak perlu kaget jika perkembangan anak kita juga terpengaruh. Menitipkan anak ke daycare atau membiarkannya di depan televisi sepanjang hari (karena baby sitter suka menonton sinetron?) menurunkan kecepatan perkembangannya oleh karena minimnya interaksi yang bermakna.
Ketiga, tinggalkanlah paradigma bahwa “anak harus diam”. Masih banyak guru sekolah yang menganut paradigma ini. Mereka takut, ketika dibiarkan bicara, anak jadi tak terkendali, sehingga target-target mengajar tak tercapai, karena seringkali kelas mereka terlalu besar.
Sebagai institusi yang dimaksudkan untuk ‘menggantikan’ peran orangtua sebagai pendidik – karena orangtua terlalu sibuk bekerja atau dianggap tak mampu – sekolah punya tanggung jawab sangat berat untuk menstimulasi anak menjadi pembelajar aktif. Mengapa akhirnya anak-anak hanya dikondisikan menjadi pendengar pasif, yang bahkan tak mampu mencerna secara optimal apa yang mereka dengar?
Anak yang pasif terkondisi untuk makin pasif, sebab dia tak punya cukup keterampilan berbahasa untuk meminta informasi atau menganalisis masalah. Merumuskan pertanyaan secara tepat saja tidak mampu, apalagi menulis esai bermutu.
Kepasifan berbahasa adalah resep ampuh untuk menghasilkan anak-anak yang tidak cendekia. Lihatlah gaya berbahasa anak masa kini, simak bahasa alay mereka, dengan tata bahasa semrawut, ejaan ngawur, dan kosakata miskin – itulah cermin kinerja orang dewasa yang mendampingi mereka, yakni … kita!
Keempat, ajari anak tidak tergantung pada konten audio-visual. Mampu mencerna makna dari kata-kata belaka, tanpa disertai gambar, menunjukkan benak seseorang telah naik ke tahap keterampilan berbahasa yang lebih tinggi. Anak butuh latihan untuk bisa sampai ke tahap abstraksi itu.
Kisah-kisah imajinatif adalah anak tangga yang paling efektif untuk mengantar mereka ke sana. Entah mendongeng spontan atau membacakan buku cerita atau memperkenalkan pada puisi dan bentuk-bentuk karya sastra bermutu lainnya, semua itu akan membantu anak berefleksi tentang makna bahasa dan tentang dunia.
Jadi, apakah Anda punya komitmen untuk hadir lebih banyak dan lebih penuh bagi anak Anda hari ini dan hari-hari selanjutnya? Tiada hasil tanpa upaya. Ingin anak bertumbuh kembang optimal, berarti harus mau meluangkan waktu dan tenaga.
Akan sulit bagi ayah-ibu menyimak balitanya dengan sabar jika agenda penuh dengan deadlines yang mendesak. Perjuangan berat bagi orangtua untuk mengajak anak-anaknya bermain, berdiskusi, apalagi melatihnya berpikir secara logis dari argumen ke argumen, jika mata sudah mengantuk, badan dan pikiran sudah kelelahan di tempat kerja. (bersambung)
Ini adalah ringkasan bab keempat Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”
no replies