Pada dasarnya kebanyakan orangtua itu ambisius dan mudah senewen kalau sudah masuk ke masalah anak. Ayah-ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya menjadi jenius, hebat, berprestasi, crème de la crème? Biaya sebesar apa pun tak akan sayang-sayang dikeluarkan demi meraih impian manis itu.
Berbagai produk mahal, asal berlabel ‘edukatif’ – mulai dari CD musik klasik, kursus ini-itu, sampai sekolah favorit multibahasa – laku keras di berbagai belahan dunia. Hasrat orangtua menjelma menjadi pangsa pasar menggiurkan senilai milyaran dollar.
Namun, hati-hati pada yang sedang kita pertaruhkan. Ya, anak-anak kita sendiri! Kalau terlalu mudah percaya klaim-klaim pedagang, kita bisa terkecoh oleh mitos yang keliru. Bisa jadi otak anak kita menjadi korbannya.
Mitos pedagang sering mengambil fakta neurosains sepotong-potong terlepas dari kebenaran utuhnya, lalu diiklankan bombastis kepada orangtua. Akhirnya orangtua yang ambisius tapi kurang kritis terperdaya (dan ternyata orangtua seperti ini cukup banyak juga jumlahnya!).
Mitos pertama: stimulasi janin sejak dalam kandungan.
Memang betul, fase janin adalah masa ketika otak mengalami pertumbuhan paling pesat. Memang betul, stimulasi dari lingkungan berperan besar membentuk otak anak. Memang betul, fetus bisa membedakan suara orangtuanya segera setelah lahir. Masalahnya, apa benar orangtua perlu memberikan stimulasi ekstra kepada janin mereka sejak dalam kandungan?
Di pasaran menjamur program dan produk prenatal yang ambisius. Ibu hamil disarankan memasang headset stereo di perut untuk memperdengarkan berbagai musik dan suara kepada janin sepanjang waktu; membacakan flash cards sambil menyenteri perutnya, dengan harapan kelak setelah lahir anak akan cepat bisa menghafal aksara; mengikutsertakan janin dalam “Universitas Prenatal” (ini sungguh ada, lho!), dst.
“Saya tidak merekomendasikan hal-hal seperti itu,” tegas pakar kesehatan ibu dan anak, penulis buku How to Have a Smarter Baby, Dr. Susan Luddington-Hoe dari UCLA. “Percayakanlah pada proses alami, mengapa kita harus mengacaukannya?”
Dalam proses kehamilan yang sehat, fetus akan menerima banyak sekali stimulasi dari lingkungan rahim dan kegiatan sehari-hari sang ibu: suaranya, detak jantungnya, bahkan rasa dan aroma cairan ketubannya. Produk-produk dan program-program prenatal dengan janji setinggi langit itu belum punya dasar kuat secara ilmiah, apakah benar-benar menguntungkan, atau justru merugikan.
Para peneliti otak sungguhan justru mengamarkan: berusaha ‘merekayasa’ secara berlebihan proses pembelajaran anak pada usia berapa pun bisa mengakibatkan bencana emosional dan neurologis baginya. Cukuplah jalani kehamilan dengan sehat dan bahagia, maka Anda bisa yakin, bayi Anda akan muncul pada akhir masa sembilan bulannya dalam kondisi siap beradaptasi dengan kehidupan dunia nyata.
Mitos kedua: pemanfaatan periode sensitif perkembangan otak.
Periode sensitif (windows of opportunity) adalah suatu rentang waktu ketika bagian otak tertentu mengalami perkembangan pesat dan butuh stimulasi tepat supaya bisa berkembang optimal – apabila stimulasi yang dibutuhkan tak tersedia pada waktunya, bagian itu tak akan pernah lagi bisa berkembang optimal.
Adanya periode sensitif ini bukan mitos. Terbukti pada sekian kasus, anak yang mengalami infeksi telinga selama masa balitanya di kemudian hari akan mengalami gangguan membaca dan menulis, karena dia tidak bisa mendengar dan menuliskan yang dia dengar secara akurat.
Begitu juga dalam hal belajar bahasa asing. Orang dewasa relatif sulit menirukan aksen bahasa asing seperti penutur aslinya, sementara anak kecil lebih mudah, sebab orang dewasa telah melewati periode sensitif bahasa. Pita suaranya bisa jadi mampu, tapi otaknya tak bisa lagi menangkap pola suara dan menirukan aksen asing yang berbeda dari bahasa hariannya.
Apakah itu berarti supaya anak mahir berbahasa asing, dia harus dibesarkan secara dwibahasa, atau bahkan multibahasa, sejak bayi? Di sinilah letak mitosnya. Apa pun yang ‘dipaksakan’ pada anak bisa berakhir sebagai bencana alih-alih berkat. Makin banyak bukti bahwa cara belajar bahasa asing yang salah justru bisa meruwetkan jejaring syaraf anak, sehingga dia malah kesulitan menguasai bahasa ibunya sendiri!
Dr. Nico Spinelli berpendapat bahwa mengkondisikan anak bicara dalam dua bahasa bisa merampas energi dan jejaring otak terlalu banyak. Menurutnya, ada cara yang lebih baik untuk menyiapkan anak menjadi poliglot. “Ajarilah anak mengucapkan dengan pronunsiasi sempurna sekitar lima puluh kosakata dari bahasa tertentu – entah itu Jerman, Perancis, Jepang, Spanyol, atau yang lainnya, maka di kemudian hari anak akan bisa mempelajari bahasa itu dengan lebih mudah dan tanpa aksen, karena otaknya telah diberi fondasi.”
Ringkasnya, betul ada periode sensitif, tapi bukan lantas kita dibenarkan untuk memaksakan proses pembelajaran pada anak-anak usia dini. Yang paling mereka butuhkan di usia sensitif itu sebetulnya terutama stimulasi perkembangan kemampuan indera, kemampuan motoris, dan keterampilan bahasanya. Dan stimulasi yang paling oke adalah banyak-banyak bermain (!) dan bergaul.
Bukan tanpa alasan anak-anak balita itu tak betah disuruh duduk diam di kursi dalam ruangan, berjam-jam sehari. Otak mereka sedang mencari sebanyak mungkin stimulasi jasmaniah. Ajaklah mereka bergerak, menjelajah, bermain di alam bebas, menyentuh, memanipulasi benda-benda dengan tangan dan kakinya, maka kebutuhan otak itu akan terpuaskan.
Tidak perlu juga mainan yang mahal-mahal. Mainan sederhana, asal ada interaksi berbahasa yang mendalam dengan orang sungguhan – apalagi orangtuanya – adalah stimulasi terbaik bagi anak. Sering-seringlah bicara pada mereka, mengobrol, bercerita; bacakanlah mereka buku-buku yang bagus. Kemampuan berbahasa mereka pasti berkembang pesat luar biasa!
Mitos ketiga: anak-anak perlu sedini mungkin disekolahkan.
Ini justru sangat riskan dan berbahaya bagi perkembangan otak anak! Secara genetis, otak setiap anak punya jadwal perkembangan yang unik, satu anak berbeda dari anak yang lain. Memaksakan anak untuk menguasai suatu keterampilan ketika otaknya belum siap untuk itu justru bisa merugikan dia dalam jangka panjang. Penjelasannya demikian:
Otak yang berkembang bukan hanya otak yang bertambah beratnya (jumlah sel-selnya meningkat) tapi juga makin matang. Kematangan otak ditentukan oleh proses myelinasi. Myelin adalah nama selubung bagian ekor sel otak (akson). Hanya setelah diselubungi myelin, sel-sel itu bisa menyampaikan pesan secara cepat dan jernih.
Sebelum myelinasi selesai, otak tidak bisa beroperasi secara efisien. Ini sebabnya, memaksa anak menguasai keterampilan akademis tertentu sebelum otak mereka matang untuk hal itu bisa mengacaukan pola pembelajaran. Myelinasi berlangsung lama. Pada kebanyakan orang baru selesai di usia 20-an, bahkan ada yang lebih lambat lagi. Bagian yang paling akhir dimatangkan adalah yang mengatur kemampuan berpikir tingkat tinggi dan abstraksi.
Di dalam otak terdapat banyak sekali sistem jejaring syaraf. Setiap keterampilan akademis akan efisien dikerjakan oleh sistem ini atau itu. Nah, kalau sistemnya belum siap, tapi anak sudah dipaksa menguasai keterampilan akademis terkait, terpaksa otak memanfaatkan sistem lain yang sebetulnya kurang efisien, sehingga hasilnya tak akan bisa optimal.
Ibarat seseorang mau ke Yogya dari Semarang, tapi jalur di kota Ungaran masih dalam perbaikan, lalu dia terpaksa memakai jalur alternatif memutar ke Weleri dulu, lalu ke Sukorejo-Parakan-Temanggung. Meski akhirnya sama-sama sampai di Yogya, tapi rute ini jauh lebih boros waktu dan tenaga.
Otak pun demikian. Kalau memang dipaksa cukup keras, anak batita pun bisa diajari membaca, namun sebenarnya dia memakai jalur alternatif yang lebih boros waktu dan energi, dibandingkan jika pelajaran membacanya ditunda sampai jalur yang semestinya telah siap dipakai.
Situasi bisa lebih parah lagi ketika jalur alternatif yang boros waktu dan energi itu akhirnya malah dimapankan oleh otak, dimyelinasi. Jalur di kota Ungaran sudah siap pakai, tapi tak pernah dipakai karena si pelancong sudah telanjur terbiasa memakai jalur Weleri-Sukorejo-Parakan-Temanggung.
Kita patut sedih melihat anak-anak kelas 2 dan 3 SD yang menggenggam pensil mereka dengan canggung dan tegang, posisi genggam yang menyulitkan mereka menulis cepat dan bagus. Mungkin sekali posisi itu awalnya karena mereka belajar menulis terlalu dini, ketika jari-jemari mereka belum siap untuk menggerakkan alat tulis secara luwes. Setelah menjadi kebiasaan, anak-anak ini sulit mengubah cara mereka memegang pensil.
Secara tersirat, ini pesan bagi para orangtua: Awasilah ambisi menjadikan anak-anak kita jenius! Jika anak belum siap, maka lebih bersabarlah sedikit. Neural readiness, itulah kata kuncinya. Tunggu otak anak siap sebelum memintanya belajar keterampilan akademis tertentu, dan latihkanlah setiap hal dengan benar sejak pertama kali anak mengerjakannya. Merombak kebiasaan buruk yang telanjur mengakar jauh lebih sulit ketimbang bertekun menanamkan kebiasaan baik selangkah demi selangkah sebelum anak terbiasa apa-apa.
Kunci Optimalisasi Kecerdasan Anak
Sampai kini, tak ada seorang pun tahu cara membuat myelinasi terjadi. Myelinasi bisa dihambat (ketika gizi dan stimulasi minim), tapi tak bisa dipercepat. Ada banyak anak yang mengira diri mereka dungu gara-gara sulit memahami suatu pelajaran, nilainya untuk subjek itu jeleeeek terus (yang paling jamak mungkin matematika). Padahal kalau mereka mempelajari materi itu pada usia yang lebih tua, atau dengan metode dan bahan yang sesuai pola kerja dan tahap perkembangan otaknya, sangat mungkin mereka ternyata berbakat dalam bidang itu.
Riset neurosains menganjurkan kita untuk tak lagi bertanya, “Bagaimana membuat anak saya cerdas?” Sebab pada dasarnya anak-anak kita sudah jenius dan cerdas … dalam bidang mereka masing-masing, dengan jadwal kemunculan yang berbeda-beda! Yang perlu kita pikirkan adalah: “Bagaimana saya bisa membantu anak saya mengaktualisasi segala potensi dan kecerdasannya, supaya dia memperoleh kehidupan yang memuaskan, bahagia, dan berguna?”
Kita bisa belajar dari eksperimen, mengapa otak tikus dalam lingkungan kaya stimulasi bisa berkembang pesat? Ada dua faktor: pertama, si tikus punya mitra berkegiatan (companionship); kedua, si tikus aktif terlibat menggarap tantangan atas inisiatif sendiri (active involvement).
Meskipun disediakan banyak mainan, tapi kalau si tikus cuma duduk diam dan menonton, otaknya tidak akan jauh beda dari tikus yang berada di lingkungan miskin stimulasi. Tikus itu mesti tertarik, dan mesti melibatkan diri secara penuh – lebih baik lagi jika seluruh jasmaninya dipakai untuk berkegiatan – supaya otaknya berkembang.
Ketika mendampingi anak, tanyakanlah pada diri sendiri: “Kegiatan ini mengembangkan otak siapa? Siapa yang berminat? Siapa yang penasaran? Siapa yang aktif bertanya? Otak saya atau otak anak?” Jangan sampai anak cuma jadi konsumen pasif, nanti yang berkembang pesat malah otak orangtua atau guru yang sibuk mempersiapkan bahan ajar.
Tugas pendidik adalah memfasilitasi otak anak yang tengah berkembang. Sediakan sebanyak mungkin stimulasi, namun di sisi lain doronglah agar anak berinisiatif untuk memilih stimulasi mana yang menarik baginya. Kegiatan apa pun yang membangkitkan minat dan imajinasi siswa, yang memantik hasrat mereka mencari jawaban atas suatu pertanyaan, atau untuk merenungkan sesuatu, atau menciptakan tanggapan, itulah yang otak anak butuhkan. (Sayangnya kepasifan dosis tinggi itu tengah terjadi – bukan hanya di depan TV, tapi juga di banyak tempat pengasuhan anak, sekolah, tempat-tempat kursus, bahkan di rumah.)
Bermain, bermain, bermain …
Ada dua ekor anak kucing. Mereka dimasukkan ke dalam keranjang yang berbeda, tapi dihubungkan dengan tongkat beroda. Tikus yang satu kakinya keluar dari keranjang, yang kedua tidak. Setiap kali anak kucing yang pertama berjalan, saudaranya ikut bergerak. Eksperimen ini dikerjakan ketika dua anak kucing itu berada dalam periode sensitif mengenali garis vertikal. Hasilnya sungguh mengherankan! Anak kucing yang berjalan-jalan bisa melihat dengan baik, sementara saudaranya yang cuma membonceng akhirnya buta terhadap garis vertikal.
Apa maknanya bagi kita? Lingkungan memang merangsang perkembangan otak, tapi hanya jika kita berinteraksi dengan stimulasi dari lingkungan tadi. “Permainan fisik adalah salah satu cara utama anak berinteraksi dengan lingkungan,” kata Dr. Bernstein.
Jadi apa yang akan terjadi ketika anak-anak zaman sekarang menghabiskan waktu mereka duduk di kursi, entah di kelas atau di muka TV dan layar gadget lainnya, dengan telinga ditutupi oleh headset, bukannya menapakkan kaki di tanah untuk berlari-lari atau membaca atau bercakap-cakap dengan manusia sungguhan? “Saya enggan membayangkannya,” keluh Dr. Bernstein.
Sungguh, mengawal otak yang sedang berkembang itu tugas yang menantang. Di satu sisi, kita mesti tetap mematok standar dan visi yang tinggi untuk materi pelajaran anak-anak kita. Mari perhatikan: jam demi jam anak kita dihabiskan untuk menyerap stimulasi apa? Orangtua mau tak mau harus peduli.
Masa kanak-kanak sampai remaja adalah masa sel-sel otak dirampingkan dan dibentuk. Ketika seorang anak menghabiskan banyak waktunya untuk kegiatan tertentu, maka otak akan memyelinasi jaringan syaraf yang relevan. Setelah myelinasi usai menjadi sistem neuron yang mapan, sulit untuk merombaknya kembali.
Namun di sisi lain, kita harus selalu berhati-hati agar tidak memaksakan pelajaran yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan otak anak. Dan karena bawaan genetis serta jadwal perkembangan setiap otak anak berbeda-beda, proses belajar juga harus bersifat individual, tidak bisa dipukul sama rata bagi semua anak. Sekolah-sekolah, yang menangani banyak anak sekaligus, harus sadar benar akan hal itu. (bersambung)
Ini adalah ringkasan bab ketiga Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”.
no replies