Ada sekawanan tikus. Sebagian ditempatkan dalam lingkungan kaya stimuli (kandang lebih besar, teman dan mainan lebih banyak). Sebagian lagi di lingkungan miskin stimuli. Setelah diukur, ternyata otak tikus kelompok pertama jadi lebih besar dan berat dibanding kelompok kedua. Apa maknanya?
“Ini menunjukkan betapa otak sangat terpengaruh oleh lingkungannya,” kata Marian Diamond, peneliti yang melakukan eksperimen tersebut. Otak sangat terpengaruh oleh lingkungannya, bukan hanya oleh faktor keturunan (heredity)! Itu artinya, kita betul-betul tak boleh meremehkan proses pendidikan.
Otak Manusia Istimewa
Sebetulnya ketika dalam kandungan, semua janin manusia sama-sama dianugerahi alam dengan jumlah sel otak yang berlebih-lebih. Ada milyaran neuron yang menunggu untuk saling terhubung. Menurut pakar otak Dr. William Greenough, otak manusia punya bagian ‘bebas’ yang lebih luas ketimbang otak binatang. Maksudnya begini:
Pada binatang, sebagian besar sel otaknya secara genetis telah terprogram untuk melakukan fungsi tertentu. Ini membuat anak binatang seolah otomatis bisa mencari makan, berkembang biak, merawat anak, bermigrasi, dan sebagainya, tanpa harus banyak belajar atau berpikir. Dampak negatifnya, binatang mudah punah ketika habitatnya rusak atau berubah.
Manusia berbeda. Pada manusia, sel-sel otak banyak yang belum terprogram secara spesifik mau berfungsi sebagai apa. Neuron bebas ini baru membentuk jejaring sesuai fungsi yang dibutuhkan si pemilik otak.
Di mana kita tinggal, seperti apa budaya masyarakat kita, bagaimana kebiasaan keluarga kita, otak akan belajar menguasai keterampilan-keterampilan hidup terkait. Itu sebabnya manusia hampir selalu bisa beradaptasi seekstrem apa pun jenis lingkungannya. Keterampilan apa saja bisa kita kuasai asalkan ada stimulasi yang cukup bagi otak.
Setiap pengalaman anak akan memberikan stimuli tertentu pada bagian otak tertentu. Banyak bermain di alam bebas akan merangsang otak secara berbeda dibandingkan banyak bermain video games. Biasa membaca buku-buku bermutu sastra akan mengaktifkan sel otak (neuron) yang berbeda dari membaca buku-buku teks yang garing. Diajak mengobrol secara hangat dan penuh respek akan membentuk jejaring syaraf yang berbeda dibandingkan diperintah-perintah secara diktator dengan nada marah-marah. Sering diajak bepergian ke tempat-tempat baru membentuk otak dengan cara yang berbeda dari terus-menerus jadi anak rumahan. Dan lain sebagainya.
Nah, ketika anak semakin besar, jumlah neuron yang berlebih itu akan dirampingkan secara alami. Neuron yang tidak berhasil ‘eksis’ (melakukan fungsi tertentu dan berjejaring dengan neuron lain) akan mati. Hanya neuron yang terpakai akan bertahan. Dan makin sering dia dipakai, jejaringnya makin kuat dan sulit digantikan.
Seumpama jalan setapak di rimba: awalnya samar, makin sering dilewati akan makin jelas dan mapan. Begitu pula jejaring antar neuron. Waktu awal kita belajar setir mobil, misalnya, kita masih merasa canggung, bingung ini pedal rem atau gas, kapan harus pindah gigi, dan sebagainya. Tambah jam terbang, menyetir mobil tidak lagi jadi hal sukar, bahkan bisa dikerjakan sambil menggarap hal lain. Jalan setapak neurologis itu kini telah menjadi jalan raya.
Hebat Tapi Riskan
Sifat otak yang begitu plastis ini hebat, karena membuat pribadi jadi begitu unik. Otak satu orang dengan orang lain tak pernah sama karena setiap orang punya pengalaman yang berbeda-beda tentang lingkungannya. Variasi jejaring neuron otak boleh dibilang tanpa batas! Kita selalu bisa mempelajari apa pun yang kita mau pelajari.
Di sisi lain, plastisnya otak membawa risiko. Belum tentu seorang anak hidup di lingkungan yang baik. Belum tentu semua anak memperoleh stimulasi yang tepat secara cukup. Dus, belum tentu semua anak mampu mengaktualisasi segala potensi-potensi hebatnya.
Kita ambil contoh masalah perkembangan keterampilan berbahasa yang guru-guru keluhkan tentang generasi muda zaman sekarang. Terasah atau tidaknya keterampilan berbahasa sangat tergantung pada pengalaman, yakni cara anak dibesarkan. Otak dari anak yang input bahasanya sebagian besar bersumber dari televisi, misalnya, akan berbeda dari anak yang inputnya dari orang sungguhan yang mengajaknya bicara secara personal.
Ketika irama gaya hidup kontemporer merangsang anak terus-menerus dengan stimuli dari luar diri mereka, sehingga mereka tak lagi punya banyak waktu untuk tenang, berpikir, berefleksi, dan melakukan percakapan batin, bentuk otak mereka juga mengalami perubahan. Dr. Greenough menduga, perubahan lingkungan dan budaya skala besar di era ini otomatis menimbulkan perubahan skala besar pula dalam cara otak anak-anak zaman sekarang memproses informasi.
Optimisme yang Terinformasi
Ancaman lain bagi otak anak yang plastis adalah polusi lingkungan. Zat-zat beracun dan berbahaya bisa mempengaruhi (secara negatif) perkembangan otak anak sejak dia masih janin dalam kandungan.
Otak janin belum punya kemampuan untuk menangkal zat-zat beracun/berbahaya yang merasukinya. Racun itu bisa menerobos plasenta dan menyerang janin, seperti terbukti dalam tragedi Thalidomide.
Residu asap rokok bisa menyumbat plasenta dan menghalangi asupan gizi janin, atau bahkan menyebabkan kecacatan pada janin karena rusaknya sperma ayah (yang perokok) sejak semula.
Alkohol dapat menyebabkan abnormalitas serius pada perkembangan mental dan jasmani janin. Berbagai jenis logam (timah, merkuri, arsenik, aluminium, dan kadmium) bisa menyebabkan keterbelakangan mental dan cacat lainnya. Pestisida serta bahan-bahan kimia lain berpengaruh pada sistem syaraf pusatnya.
Belum lagi setelah lahir, anak berhadapan dengan polusi pabrik, asap knalpot, makanan yang terkontaminasi bahan kimia berbahaya, efek samping obat-obatan, dan sebagainya. Diduga akan makin banyak anak-anak di masa mendatang yang mengalami kesulitan dan gangguan belajar akibat pengaruh segala macam toksin ini.
Orangtua sebaiknya terinformasi mengenai semua faktor ancaman ini. Kalau sudah tahu hal-hal tertentu buruk, zat-zat tertentu berbahaya, mari hindarkan supaya (calon) anak kita kalau bisa jangan terekspos. Namun jangan pula menjadi terlalu tertekan sampai panik dan merasa tak berdaya!
Terutama ketika hamil, betul-betul jagalah ketenangan hati Anda dan jangan stres. Stres selama masa kehamilan bisa mengacaukan sistem tranmisi kimiawi dalam otak janin, diduga karena hormon-homon stres yang menembus plasenta. Secara intuitif kita tahu bahwa stres itu bisa menular. Kalau orangtua stres, anak juga ikut stres. Dan pengalaman stres itu pasti akan memodifikasi perkembangan otak anak!
Memang sulit ya, tahu berbagai hal buruk, tapi tidak boleh stres …
Besarkanlah hati. Riset neurosains membawa pesan optimis bahwa otak punya daya juang yang tinggi untuk mengatasi segala macam tantangan. Otak yang sudah tua, telanjur kuat jejaring neuronnya (baca: telanjur mengakar kebiasaan lamanya yang buruk) pun bisa berubah, asal ada cukup kemauan. Otak yang cacat bagian tertentunya pun bisa melakukan kompensasi, mengaktifkan bagian lain untuk menggantikan bagian yang rusak itu.
Otak itu sangat luwes! Asalkan pemiliknya punya motivasi kuat dan ketika lingkungan memberi dukungan penuh, otak bisa memunculkan perubahan yang tadinya dianggap mustahil. Oleh karena itu, apa pun gangguan belajar anak, sebagai orangtua dan guru, tak ada alasan bagi kita untuk menyerah kalah. Mari belajar terus melakukan yang terbaik. (bersambung)
Ini adalah ringkasan bab kedua Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”.
no replies