Tanya:
Metode CM dan unschooling mirip filosofinya, seperti “imani hasrat belajar alamiah anak”, tapi mengapa dalam CM ada kurikulum?
Bukannya kurikulum akan menghambat hasrat belajar alami anak itu sendiri? Dan apakah perbedaan antara CM dan John Holt [tokoh unschooling – Red.] muncul karena latar belakang CM yang Victorian dan religius sedang Holt cenderung liberal?
Dari pembaca buku Cinta yang Berpikir,
Dhita
Jawab:
Mbak Dhita, saya akan coba kembangkan pertanyaan Mbak agar kita bisa sampai ke akar permasalahannya:
Semua anak suka belajar, apakah itu berarti ia boleh belajar apa saja yang ia suka dengan cara yang ia suka – tanpa arahan sama sekali? Apakah menetapkan adanya jam belajar setiap hari dan memilihkan jenis materi pelajaran untuk disajikan pada anak akan menghapuskan hasrat belajar alami anak? Apakah itu berarti kita memaksa anak? Apakah kurikulum itu yang menghambat hasrat belajar alami anak atau “sesuatu unsur” (yang mungkin ada) di dalam kurikulum itu? Apakah kalau ada satu-dua jenis kurikulum yang mematikan minat belajar anak, itu berarti SEMUA jenis kurikulum PASTI mematikan minat belajar anak? Di sini berarti kita harus lebih tahu mencari jawaban dari pertanyaan: Apa yang membuat hasrat belajar alami anak tumbuh dan apa yang membuatnya terhambat?
Sebagai perbandingan, saya akan menggunakan perumpamaan tentang makan dan makanan. Semua anak merasa lapar. Apakah anak itu dibiarkan makan apa saja yang ia mau dengan cara yang ia mau – tanpa arahan sama sekali? Ibarat orangtua menetapkan bahwa setiap hari harus ada jam makan dan memilihkan jenis makanan apa saja yang akan disajikan di meja, apakah tindakan seperti itu akan menghapuskan nafsu makan anak? Apakah kebijakan itu “memaksa”?
Jawaban John Holt:
Anak SAMA SEKALI TIDAK BOLEH diberitahu apa yang harus ia ‘makan’ dan dengan cara apa ia harus ‘makan’. Biarkan anak menunjuk sendiri apa yang ia sukai – apa pun itu – lalu menggarapnya dengan cara yang ia sukai – bagaimana pun itu. Semua upaya untuk menawari anak ‘memakan’ sesuatu sebelum ia menginginkannya adalah PAKSAAN yang akan mematikan nafsu makan alami anak. Orangtua DILARANG meyakinkan anak bahwa jenis makanan ini lebih baik ketimbang yang itu.
Jawaban Charlotte:
Anak HARUS dibiasakan menghadapi makanan ideal yang layak untuk dia makan dan cara ideal untuk memakannya. Selera makannya HARUS diarahkan pada makanan sehat. Kebiasaan makannya HARUS dilatih supaya sesuai dengan hukum fisiologisnya. Maka, orangtua HARUS membiasakan anak untuk makan secara teratur dan HARUS menyajikan hanya makanan yang terbaik dan HARUS mengajari cara mengunyah makanan dengan baik agar makanan itu tercerna secara optimal. Tetapi orangtua DILARANG mengunyahkan makanan untuk anak (atau menginterupsi anak saat mengunyah); DILARANG mengomelinya ketika ia bilang makanan yang ini lebih enak daripada yang itu (sejauh makanan itu sehat); DILARANG memaksa anak makan setelah ia kenyang atau sedang tidak berselera. Dan secara bertahap orangtua HARUS makin membiarkan anak itu memilih sendiri apa yang mau ia makan seiring anak itu makin dewasa – ketika orangtua melihat bahwa ia sudah makin bisa memilih menurut pertimbangan benar dan baik, bukan sekedar suka atau tidak suka – sampai akhirnya pada satu titik orangtua sama sekali tidak lagi campur tangan dalam urusan ini.
Di sini tergali adanya perbedaan asumsi antara Holt dan CM. Barangkali memang terkait dengan latar belakang CM yang religius (saya tidak menyebutnya Victorian, karena meskipun Charlotte hidup di budaya Victoria, tapi pemikirannya melampaui zamannya), tapi menurut saya terutama karena perbedaan asumsi filosofis di antara keduanya.
Holt memiliki pandangan romantis ala Rousseau bahwa anak itu pada dasarnya serba baik, serba bijak, anak adalah periode ilahi yang menghilang ketika kita beranjak dewasa – satu periode yang kalau bisa dipertahankan selama-lamanya. Maka Holt percaya penuh, anak bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik baginya. Itu berbeda dari Charlotte.
Bagi Charlotte, anak-anak itu secara batin tak ubahnya manusia dewasa, tidak seratus persen baik, tidak seratus persen jahat, melainkan selalu dalam pergumulan konstan untuk berusaha menjadi lebih baik. Sebagai pribadi, anak punya potensi sama hebatnya dengan orang dewasa mana saja, tetapi pengetahuan anak masih minim dan kekuatan kehendaknya masih lemah.
Membiarkan anak mencari jalan sendiri tanpa arahan adalah gagasan yang sangat buruk. Manusia adalah makhluk pembelajar, dan salah satu yang harus ia pelajari adalah warisan hikmah dari bergenerasi-generasi manusia lain sebelum dia. “Setiap orang yang tidak belajar dari sejarah akan terkutuk untuk mengulangi kesalahan dalam sejarah itu,” kata Ortega Y Gasset.
Kebebasan itu penting. Tapi tidak adakah batasan bagi kebebasan itu? Apakah kebebasan itulah tujuan akhir, ataukah kebebasan itu sekedar sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi? Apakah umat manusia akan mengarah pada situasi yang lebih baik ketika kebebasan menjadi hukum tertinggi? Apakah negara akan menjadi lebih sejahtera ketika semua warganya bebas sebebas-bebasnya untuk mengejar minat dan kesukaan pribadi masing-masing? Lantas kerangka nilai apa yang bisa menyelaraskan kebebasan satu orang dengan kebebasan orang lain?
Semuanya lagi-lagi berpulang kepada visi ideal pendidikan kita tentang pendidikan dan tentang kehidupan. Bagi Charlotte, visi itu haruslah holistik. Yang dipertimbangkan mustilah lebih dari sekedar aspek psikologis (memelihara kesehatan jiwa anak), tapi juga fisiologis (sesuai dengan hukum alam), etis (kontribusi moral yang positif bagi umat manusia), dan spiritual (sesuai dengan fitrah manusia yang dirancang oleh Penciptanya).
Mengkritik kurikulum yang buruk itu baik, tetapi itu tidak harus berarti membuang konsep kurikulum. Sama seperti sistem apa pun, kurikulum hanyalah wadah, yang penting adalah konten yang ada di dalamnya. Kurikulum bisa berubah-ubah, luwes, disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, tapi prinsip-prinsip ideal yang mendasarinya tetap.
Maka, setiap orangtua dan guru perlu merumuskan dengan tegas: visi ideal apa yang mustinya terwujud dalam proses belajar ini? seberapa idealkah visi itu? benarkah visi ini sudah yang paling ideal? — “apa yang kurang dari terbaik tidak layak bagi anak-anak,” kata Charlotte. Dan setelah itu bertanya: lantas apa peran ‘kurikulum’ di dalamnya? (dan, omong-omong, apa definisi ‘kurikulum’ itu?)
Salam hangat,
Ellen Kristi
Dalam kurikulum 13 yang sudah berjalan di sekolah saat ini, banyak sekali penilaian yang harus dipenuhi oleh anak, bahan evaluasinya berupa soal yang harus dikerjakan dalam jumlah banyak. Apakah ini baik untuk perkembangan psikologis anak? Dan saya melihat sendiri pada anak saya ternyata dia merasa kecapekan dan beberapa kali tak mau masuk sekolah. Bagaimana solusinya mba?
Kurikulum adalah soal WHAT (apa yang harus dipelajari). Yang perlu direnungkan adalah WHY, mengapa itu harus dipelajari? Betulkah itu penting bagi kehidupan anak? Tanpa berefleksi, kita hanya akan ikut-ikutan arus, tanpa tahu akan dibawa ke mana.
Saya dulu adalah seorang guru yang mengajar berdasarkan kurikulum. Ada target2 pembelajaran yang harus dicapai dan ada standart nilai yang harus dicapai. Sebagai pelaku homeschooling bagaimana menerapkan kurikulum dan mengevaluasi proses belajar anak2 kita? Semakin membaca, semakin banyak timbul pertanyaan di benak saya. Mohon pencerahan.
Tergantung pada metode apa yang mbak Fany pilih untuk menjalankan homeschooling. Kalau memakai metode CM, targetnya adalah peningkatan watak dan kapasitas anak, alat evaluasi utamanya adalah narasi dan observasi dari pendamping. Kalau sudah lega, akan saya tuliskan artikel tersendiri soal evaluasi ini ya. Terima kasih sudah bertanya.