KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • CMid
    • Tentang CMid
    • Keanggotaan CMid
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • BAHAN BELAJAR
    • PRINTABLES
      • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • CYB
    • ORDER
    • RESELLER & DROPSHIPPER
  • ARTIKEL
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • BERITA
  • CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • CMid
    • Tentang CMid
    • Keanggotaan CMid
  • KOLOM
  • PODCAST
  • BAHAN BELAJAR
    • PRINTABLES
      • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • CYB
    • ORDER
    • RESELLER & DROPSHIPPER
  • ARTIKEL
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • BERITA
April 17, 2012  |  By Ellen K In Tanya Jawab
Akankah Kurikulum Mematikan Hasrat Belajar Alami Anak?
Mengapa perlu kurikulum?
Mengapa perlu kurikulum?
Post Views: 220

Tanya:

Metode CM dan unschooling mirip filosofinya, seperti “imani hasrat belajar alamiah anak”, tapi mengapa dalam CM ada kurikulum?

Bukannya kurikulum akan menghambat hasrat belajar alami anak itu sendiri? Dan apakah perbedaan antara CM dan John Holt [tokoh unschooling – Red.] muncul karena latar belakang CM yang Victorian dan religius sedang Holt cenderung liberal?

Dari pembaca buku Cinta yang Berpikir,
Dhita

Jawab:

Mbak Dhita, saya akan coba kembangkan pertanyaan Mbak agar kita bisa sampai ke akar permasalahannya:

Semua anak suka belajar, apakah itu berarti ia boleh belajar apa saja yang ia suka dengan cara yang ia suka – tanpa arahan sama sekali? Apakah menetapkan adanya jam belajar setiap hari dan memilihkan jenis materi pelajaran untuk disajikan pada anak akan menghapuskan hasrat belajar alami anak? Apakah itu berarti kita memaksa anak? Apakah kurikulum itu yang menghambat hasrat belajar alami anak atau “sesuatu unsur” (yang mungkin ada) di dalam kurikulum itu? Apakah kalau ada satu-dua jenis kurikulum yang mematikan minat belajar anak, itu berarti SEMUA jenis kurikulum PASTI mematikan minat belajar anak? Di sini berarti kita harus lebih tahu mencari jawaban dari pertanyaan: Apa yang membuat hasrat belajar alami anak tumbuh dan apa yang membuatnya terhambat?

Sebagai perbandingan, saya akan menggunakan perumpamaan tentang makan dan makanan. Semua anak merasa lapar. Apakah anak itu dibiarkan makan apa saja yang ia mau dengan cara yang ia mau – tanpa arahan sama sekali? Ibarat orangtua menetapkan bahwa setiap hari harus ada jam makan dan memilihkan jenis makanan apa saja yang akan disajikan di meja, apakah tindakan seperti itu akan menghapuskan nafsu makan anak? Apakah kebijakan itu “memaksa”?

Jawaban John Holt:
Anak SAMA SEKALI TIDAK BOLEH diberitahu apa yang harus ia ‘makan’ dan dengan cara apa ia harus ‘makan’. Biarkan anak menunjuk sendiri apa yang ia sukai – apa pun itu – lalu menggarapnya dengan cara yang ia sukai – bagaimana pun itu. Semua upaya untuk menawari anak ‘memakan’ sesuatu sebelum ia menginginkannya adalah PAKSAAN yang akan mematikan nafsu makan alami anak. Orangtua DILARANG meyakinkan anak bahwa jenis makanan ini lebih baik ketimbang yang itu.

Jawaban Charlotte:
Anak HARUS dibiasakan menghadapi makanan ideal yang layak untuk dia makan dan cara ideal untuk memakannya. Selera makannya HARUS diarahkan pada makanan sehat. Kebiasaan makannya HARUS dilatih supaya sesuai dengan hukum fisiologisnya. Maka, orangtua HARUS membiasakan anak untuk makan secara teratur dan HARUS menyajikan hanya makanan yang terbaik dan HARUS mengajari cara mengunyah makanan dengan baik agar makanan itu tercerna secara optimal. Tetapi orangtua DILARANG mengunyahkan makanan untuk anak (atau menginterupsi anak saat mengunyah); DILARANG mengomelinya ketika ia bilang makanan yang ini lebih enak daripada yang itu (sejauh makanan itu sehat); DILARANG memaksa anak makan setelah ia kenyang atau sedang tidak berselera. Dan secara bertahap orangtua HARUS makin membiarkan anak itu memilih sendiri apa yang mau ia makan seiring anak itu makin dewasa – ketika orangtua melihat bahwa ia sudah makin bisa memilih menurut pertimbangan benar dan baik, bukan sekedar suka atau tidak suka – sampai akhirnya pada satu titik orangtua sama sekali tidak lagi campur tangan dalam urusan ini.

Di sini tergali adanya perbedaan asumsi antara Holt dan CM. Barangkali memang terkait dengan latar belakang CM yang religius (saya tidak menyebutnya Victorian, karena meskipun Charlotte hidup di budaya Victoria, tapi pemikirannya melampaui zamannya), tapi menurut saya terutama karena perbedaan asumsi filosofis di antara keduanya.

Holt memiliki pandangan romantis ala Rousseau bahwa anak itu pada dasarnya serba baik, serba bijak, anak adalah periode ilahi yang menghilang ketika kita beranjak dewasa – satu periode yang kalau bisa dipertahankan selama-lamanya. Maka Holt percaya penuh, anak bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik baginya. Itu berbeda dari Charlotte.

Bagi Charlotte, anak-anak itu secara batin tak ubahnya manusia dewasa, tidak seratus persen baik, tidak seratus persen jahat, melainkan selalu dalam pergumulan konstan untuk berusaha menjadi lebih baik. Sebagai pribadi, anak punya potensi sama hebatnya dengan orang dewasa mana saja, tetapi pengetahuan anak masih minim dan kekuatan kehendaknya masih lemah.

Membiarkan anak mencari jalan sendiri tanpa arahan adalah gagasan yang sangat buruk. Manusia adalah makhluk pembelajar, dan salah satu yang harus ia pelajari adalah warisan hikmah dari bergenerasi-generasi manusia lain sebelum dia. “Setiap orang yang tidak belajar dari sejarah akan terkutuk untuk mengulangi kesalahan dalam sejarah itu,” kata Ortega Y Gasset.

Kebebasan itu penting. Tapi tidak adakah batasan bagi kebebasan itu? Apakah kebebasan itulah tujuan akhir, ataukah kebebasan itu sekedar sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi? Apakah umat manusia akan mengarah pada situasi yang lebih baik ketika kebebasan menjadi hukum tertinggi? Apakah negara akan menjadi lebih sejahtera ketika semua warganya bebas sebebas-bebasnya untuk mengejar minat dan kesukaan pribadi masing-masing? Lantas kerangka nilai apa yang bisa menyelaraskan kebebasan satu orang dengan kebebasan orang lain?

Semuanya lagi-lagi berpulang kepada visi ideal pendidikan kita tentang pendidikan dan tentang kehidupan. Bagi Charlotte, visi itu haruslah holistik. Yang dipertimbangkan mustilah lebih dari sekedar aspek psikologis (memelihara kesehatan jiwa anak), tapi juga fisiologis (sesuai dengan hukum alam), etis (kontribusi moral yang positif bagi umat manusia), dan spiritual (sesuai dengan fitrah manusia yang dirancang oleh Penciptanya).

Mengkritik kurikulum yang buruk itu baik, tetapi itu tidak harus berarti membuang konsep kurikulum. Sama seperti sistem apa pun, kurikulum hanyalah wadah, yang penting adalah konten yang ada di dalamnya. Kurikulum bisa berubah-ubah, luwes, disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, tapi prinsip-prinsip ideal yang mendasarinya tetap.

Maka, setiap orangtua dan guru perlu merumuskan dengan tegas: visi ideal apa yang mustinya terwujud dalam proses belajar ini? seberapa idealkah visi itu? benarkah visi ini sudah yang paling ideal? — “apa yang kurang dari terbaik tidak layak bagi anak-anak,” kata Charlotte. Dan setelah itu bertanya: lantas apa peran ‘kurikulum’ di dalamnya? (dan, omong-omong, apa definisi ‘kurikulum’ itu?)

Salam hangat,
Ellen Kristi

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryMencontek = Perbuatan Mulia?
Next StoryBersenang-senang dengan Narasi

Related Articles

  • family
    Mengapa Orangtua Sama, tapi Watak Anak Berbeda-beda?
    View Details
  • Perilaku anak bikin emosi?
    Kita Harus Apa Saat Anak Susah Diatur dan Emosi Memuncak?
    View Details

4 replies added

  1. Rina December 4, 2018 Reply

    Dalam kurikulum 13 yang sudah berjalan di sekolah saat ini, banyak sekali penilaian yang harus dipenuhi oleh anak, bahan evaluasinya berupa soal yang harus dikerjakan dalam jumlah banyak. Apakah ini baik untuk perkembangan psikologis anak? Dan saya melihat sendiri pada anak saya ternyata dia merasa kecapekan dan beberapa kali tak mau masuk sekolah. Bagaimana solusinya mba?

    • Ellen K December 6, 2018 Reply

      Kurikulum adalah soal WHAT (apa yang harus dipelajari). Yang perlu direnungkan adalah WHY, mengapa itu harus dipelajari? Betulkah itu penting bagi kehidupan anak? Tanpa berefleksi, kita hanya akan ikut-ikutan arus, tanpa tahu akan dibawa ke mana.

  2. Patricia Fany Gunawan May 21, 2018 Reply

    Saya dulu adalah seorang guru yang mengajar berdasarkan kurikulum. Ada target2 pembelajaran yang harus dicapai dan ada standart nilai yang harus dicapai. Sebagai pelaku homeschooling bagaimana menerapkan kurikulum dan mengevaluasi proses belajar anak2 kita? Semakin membaca, semakin banyak timbul pertanyaan di benak saya. Mohon pencerahan.

    • Ellen K June 11, 2018 Reply

      Tergantung pada metode apa yang mbak Fany pilih untuk menjalankan homeschooling. Kalau memakai metode CM, targetnya adalah peningkatan watak dan kapasitas anak, alat evaluasi utamanya adalah narasi dan observasi dari pendamping. Kalau sudah lega, akan saya tuliskan artikel tersendiri soal evaluasi ini ya. Terima kasih sudah bertanya.

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #9 May 23, 2022
  • Pelatihan “Habit of Attention” Angkatan #2 April 4, 2022
  • Podcast #53: Belajar Sejarah yang Hidup dalam Metode CM March 27, 2022
  • Podcast #52: “Liberal Education for All”, Merdeka Belajar ala CM March 6, 2022
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #8 February 26, 2022
  • Podcast #51: Memilih Sumber Belajar Metode CM February 6, 2022
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10 January 12, 2022
  • Pengantar Rekomendasi “Living Books” Tim Kurikulum CMid November 10, 2021
  • Rekomendasi Buku Terjemahan AO November 9, 2021
  • Rekomendasi Buku Lokal dan Terjemahan Selain AO November 8, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #9 22 views | 0 comments | by admin | posted on May 23, 2022
  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 11 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Rekomendasi Buku Terjemahan AO 10 views | 0 comments | by admin | posted on November 9, 2021
  • Profil Charlotte Mason 6 views | 0 comments | by admin | posted on November 22, 2017
  • Serial Home Education 6 views | 0 comments | by admin | posted on November 22, 2017

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
  • Endang sri wahyuni on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
  • Ain on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
  • Ica on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
  • BundaZiyan on Heidi Menjawab Pertanyaan Azka tentang Tuhan

Visitors

Today: 55

Yesterday: 1018

This Week: 9281

This Month: 57338

Total: 498890

Currently Online: 150

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.