“Selamat bersenang-senang!” Itulah kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang mahasiswi saya kepada rekan-rekannya yang masuk ke jam kuliah kloter kedua, sambil nyengir geli. Mereka semua mahasiswa mata kuliah Dasar-dasar Filsafat yang saya ampu.
Semester ini saya menerapkan metode CM murni, hanya menggunakan living books tanpa video maupun slide presentasi apa pun. Buku yang saya pilih adalah Alam Pikiran Yunani karya wakil presiden RI pertama Moh. Hatta dan Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder.
Caranya secara prinsip sederhana: Saya akan menunjuk secara acak siapa yang membaca, lalu siapa yang menarasikan bacaan. Sebelum memulai bacaan baru, mereka harus menarasikan dulu apa yang telah dibaca minggu sebelumnya. Setelah menyelesaikan porsi bacaan minggu itu, mereka harus menarasikan ringkasannya.
Untuk variasi kadang kala saya meminta bentuk narasi yang berbeda, misalnya membuat pertanyaan atas bacaan, merumuskan ulang ide yang sama dengan kalimat yang berbeda, menjelaskan konsep kunci dalam bacaan, memberikan contoh konkret dari suatu konsep, dsb. Semua mahasiswa saya minta siap melakukan itu kapan pun ia dapat giliran saya tunjuk.
Sesuai dengan prinsip single reading, bacaan hanya boleh dibaca satu kali. Pada saat menarasi, buku saya minta ditutup, dan mahasiswa harus mengarahkan pandangannya menatap saya. Dengan demikian, setiap mahasiswa harus mencurahkan perhatian sepenuhnya begitu terdengar ada yang membaca. Kalau mereka melamun dan tidak menyimak bacaan, bisa dipastikan mereka tidak bisa menarasikan bacaan itu. (Dan saya terus awas untuk memperhatikan siapa yang melamun atau ngobrol sendiri, karena merekalah yang saya prioritaskan untuk membuat narasi.)
***
Saya tidak berani menjamin bahwa semua anak suka pada metode belajar dengan teknik narasi seperti ini. Narasi adalah cara belajar yang menuntut konsentrasi penuh dari awal sampai akhir, suatu kerja keras buat para siswa yang biasanya bisa bisik-bisik cekikan dengan temannya atau sibuk sendiri SMS/BBM-an dengan HP-nya atau melamun sambil terkantuk-kantuk di kelas.
Narasi bukan cara belajar yang ‘menghibur’ – tidak ada stimulasi visual atau presentasi menawan ala trainer-motivator. Bagi CM, kerja keras mencurahkan daya pikir dan belajar tanpa mengandalkan adanya hiburan adalah bagian dari karakter yang ingin kita bangun dalam diri siswa. Siswa harus didorong untuk menjadi pembaca yang efektif dan pemikir mandiri, yang tanggap menangkap ide sekecil apa pun dari bacaannya.
Seloroh mahasiswi saya di atas, “Selamat bersenang-senang!” jelas suatu guyonan, yang tampak dari senyum geli yang muncul di bibirnya. Kloternya baru saja menyelesaikan satu sesi menggarap buku dengan teknik narasi. Kebetulan bacaan hari itu mengandung beberapa ide filosofis yang kompleks dan menarasikan ide-ide itu terasa sangat menantang, sehingga banyak anak di kloternya yang mengeluh, “Aduh, pusing, Bu!” di akhir sesi mereka. Jadi, mahasiswi ini tertawa karena tahu ‘perjuangan’ macam apa yang akan dihadapi teman-temannya dari kloter kedua dengan porsi bacaan mereka hari itu.
Bukan pula berarti belajar dengan cara seperti ini tidak menghasilkan kesenangan. CM percaya, pengetahuan menawarkan keindahannya sendiri bagi siapa saja yang mencarinya. Salah satu target besar metode CM adalah anak menemukan keindahan itu, sehingga ia akhirnya suka belajar karena belajar itu memang memuaskan. Untuk itu proses belajar harus selalu dikerjakan bersama buku-buku terbaik (living books), yang bukan hanya berbobot tapi juga dituturkan dengan indah-bermakna. Buku-buku berkualitas adalah sumber kesenangan yang sesungguhnya dari proses belajar ala CM. Sekalipun harus bekerja keras, pikiran mereka tetap bersemangat karena buku-buku itu menawarkan makanan pikiran yang sedap dan bergizi.
Namun, bekerja pun harus ada batasnya. Di sinilah CM meresepkan prinsip lain yang sangat ramah anak: short lessons. Karena tahu bahwa proses belajar dengan teknik narasi menuntut pikiran dicurahkan secara maksimal, jam belajarnya harus singkat, disesuaikan dengan kapasitas para siswa.
Berhubung para siswa saya ini banyak yang belum punya kebiasaan membaca efektif, dan banyak yang belum mengembangkan keterampilan berargumen apalagi di depan umum, proses belajar kami pada pertemuan-pertemuan awal sangat lambat. Saya sendiri sudah tegaskan kepada mereka bahwa saya tidak punya target mereka harus selesai sampai di bab berapa. Tiap kelas melaju dengan kecepatan masing-masing. Dalam sehari biasanya kami hanya menyelesaikan beberapa alinea dari setiap buku. Itu tidak masalah. Yang penting adalah kualitas pemahaman, bukan kuantitas bacaan.
***
Berikut adalah beberapa hal yang saya cermati terkait dengan perkembangan kelas saya setelah delapan minggu menerapkan metode CM:
- Setelah terbiasa dengan narasi, anak-anak jadi makin cepat menangkap pokok-pokok gagasan dari setiap porsi bacaan. Dan mereka sudah mulai mampu menangani porsi bacaan yang lebih panjang, sehingga dalam satu pertemuan jumlah alinea yang dibaca bisa lebih banyak.
- Dari segi kemampuan menarasi, anak-anak menjadi lebih percaya diri, membuat narasi yang lebih detil dan lebih panjang.
- Anak-anak ini mulai menjalin ‘relasi’ dengan buku-buku mereka. Dalam percakapan informal, mereka menyebut-nyebut nama Sophie, seolah-olah tokoh dari buku bacaan mereka itu adalah salah satu dari kawan mereka, yang sama-sama mereka kenal baik.
- Metode ini membantu saya mengenal lebih dekat tiap pribadi mahasiswa kelas saya. Mana yang punya kesulitan belajar (tidak bisa membaca lancar, tidak bisa berkonsentrasi, tidak bisa mengungkap argumen dalam kalimat runtut, dsb.), mana yang sangat cemerlang. Saya terkaget-kaget mendapati sebagian mahasiswa yang kelihatannya pendiam dan tidak menonjol di kelas dengan model pembelajaran klasik, ternyata menyimpan kapasitas berpikir yang hebat ketika disuruh menarasi.
- Di sisi lain, anak-anak juga merasa lebih kenal dengan dosennya. Sikap mereka terhadap saya santai. Suasana kelas, meskipun serius, tidak terasa kaku. Meskipun masih jarang, mereka mulai pro-aktif (artinya: tanpa harus disuruh-suruh) melontarkan pertanyaan-pertanyaan di saat sesi berlangsung, yang lahir dari keingintahuan mereka pribadi.
- Pemahaman yang mereka bangun tentang bacaan sangat memuaskan. Dari hasil koreksi narasi tertulis, terlihat mereka jadi punya gambaran jelas tentang apa itu filsafat dan apa karakteristik berpikir filosofis, dan bisa bercerita tentang itu di luar kepala dengan bahasa mereka sendiri – bukan sebagai hafalan.
no replies