Keluar dari rumah atau kantor, kita bertemu aneka pohon dan tanaman. Namun kita orang-orang dewasa ini, kenalkah dengan flora dan fauna yang kita jumpai?
Mungkin di belakang nama kita berderet gelar sarjana, master, doktor di bidang-bidang spesifik, tetapi alam bagi kebanyakan kita ibarat buku yang termeterai – pemahaman kita tentangnya (dan minat kita padanya) minim bahkan nihil.
Mungkinkah situasi “terasing dari alam” ini dampak dari proses persekolahan kita? Bagaimana kita membantu anak-anak kita agar lebih mencintai sains dan mengembangkan cara pikir ilmiah?
***
Mari simak kisah nyata ini.
Suatu hari seorang anak (7 tahun) bertanya pada ibunya, “Ma, tulang kita itu terbuat dari apa?”
Ibu menjawab, “Kandungan fosfor dalam kapur.”
Anak bertanya lagi: kapur itu apa, fosfor itu apa. Ibu menerangkan kapur itu bahan semen untuk membuat rumah, fosfor itu bahan kepala korek api, bla-bla-bla. Anak terdiam dan tidak bertanya lagi.
Dua bulan kemudian, saat berjalan-jalan di taman dengan ayahnya, anak bertanya, “Pa, kapan fosfor ditemukan?”
Papa menjawab bahwa fosfor itu dari dulu ada di dalam tanah, diserap oleh tumbuhan, lalu diserap lagi oleh hewan yang memakan tumbuhan itu.
Wajah anak tiba-tiba tampak berseri, “Aha!,” katanya.
“Kenapa?” tanya ayah.
“Dulu Mama bilang tulang kita terbuat dari fosfor. Aku bingung, waktu fosfor belum ditemukan, manusia dapat fosfor dari mana? Sekarang aku paham.”
Kisah di atas memberi kita pelajaran bahwa anak-anak punya rasa ingin tahu besar dan daya tangkap cepat. Ketika ingin tahu, mereka bertanya. Jawaban yang mereka terima akan menjadi bahan rasa ingin tahu berikutnya.
Proses menemukan intisari dan membangun koneksi dari informasi-informasi yang mereka peroleh itu butuh waktu, tak bisa ditarget kapan selesai. Namun, ketika semua potongan informasi itu telah terolah dan tersambung, maka pencerahannya sungguh membahagiakan.
Proses memiliki pengetahuan secara personal seperti ini sangat penting artinya untuk mematangkan intelek anak. Orangtua tak bisa menggegas, hanya bisa memfasilitasi dengan menjadi narasumber yang ramah dan kawan belajar yang antusias.
***
Secara alamiah, anak-anak tertarik pada yang bisa mereka kenal lewat indra. Daya pengamatan mereka pada realitas di sekeliling sungguh luar biasa. Sayang, sekolah dasar dan menengah – alih-alih mengasah kapasitas hebat ini – malah menghambat dan melumpuhkannya.
Melihat anak menghabiskan tahun demi tahun, tiap hari kerja berangkat ke sekolah dari pagi sampai siang atau sore, tidakkah orangtua bertanya-tanya: Mereka sebetulnya mendapatkan apa ya? Efektifkah proses belajar mereka sekian lama itu?
Dari sudut pandang pendidikan, bagus-bagus saja kalau konten kurikulum itu bisa anak kuasai, sebab semua pengetahuan itu baik dan berguna. Yang perlu kita kritik adalah tahapan (sequence) pengajarannya. Sering terjadi sekolah terlalu buru-buru menggegas siswa ke tataran abstrak, pendekatannya banyak hafalan dan bukan pengalaman atau pengamatan langsung.
Kita semua berharap anak mendapat pelajaran yang bisa berguna dalam hidupnya. Berguna dalam arti: bukan sekadar hafalan yang lenyap setelah ujian. Pengetahuan baru bernilai praktis apabila anak dalam jangka panjang tetap ingat, paham konsepnya, dan tahu cara menerapkannya di kehidupan sehari-hari dalam situasi yang berbeda-beda.
***
Agar anak mencintai sains, sejak kecil ia perlu didorong, dibiasakan, difasilitasi untuk mengamati apa saja di sekelilingnya secara riil dan detil. Sayang sekali kalau sekolah menyuruh anak-anak belajar tentang alam sebatas dari buku teks, bukan dari alam itu sendiri.
Jika anak tidak diakrabkan dengan alam, ketika mereka lulus SMA, daya observasi mereka sudah nyaris tiada. Saat dibawa ke alam, lulusan sekolah bisa jadi malah tak nyaman karena merasa asing. Ketika diminta mengamati tanaman atau binatang, mereka bingung: yang harus diamati apanya?
Keterasingan dari alam bukan fenomena yang baru. Laporan dari Universitas Strasburg tahun 1885 mengeluhkan situasi para mahasiswa kedokteran yang didapati kesulitan ketika diberi tugas mengamati fenomena paling sederhana – padahal mereka lulusan sekolah-sekolah terbaik, hasil pendidikan formal lebih dari satu dekade!
Menurut laporan, para mahasiswa itu:
- tidak punya keterampilan melakukan observasi secara cepat dan teliti
- tidak mampu menarasikan secara akurat observasi mereka
- kesulitan melakukan induksi (menarik simpulan atau memaknai) hasil sejumlah pengamatan.
Sepertinya selama sekolah dasar dan menengah dulu, para mahasiswa ini diberi terlalu banyak hafalan dan bacaan teks tapi kurang digembleng untuk praktik lapangan. Pertanyaannya: masihkah sekarang situasinya seperti itu?
***
Selain membiasakan anak mengamati, kita juga perlu membiasakan anak menceritakan kembali hasil amatannya, secara lisan maupun tulisan.
Saat ini kita lihat anak-anak sering diajak tur kunjungan lapangan (field trip). Itu bagus sekali, mereka akan belajar mengamati dari kegiatan seperti itu. Yang kurang biasanya adalah peserta field trip tidak diminta menarasikan atau menjurnalkan hasil pengamatannya.
Mengamati dan menceritakan hasil pengamatan adalah keterampilan yang jika dikuasai sampai mahir akan berguna untuk siswa di jurusan apa saja. Semua pengetahuan itu sebetulnya saling berkelindan. Titik temunya ada di bahasa. Bidang apa pun yang anak mau dalami, dia butuh perkakas kosakata, tata bahasa, komposisi.
Untuk mengomunikasikan pengetahuan, kita selalu butuh bahasa. Itu sebabnya pelajaran sains sebetulnya tidak terpisah dari pelajaran bahasa. Apa gunanya ilmu yang banyak kalau tidak bisa diungkapkan lewat uraian kata lisan maupun tulisan yang tertata rapi, tepat, dan bisa dipahami banyak orang?
***
Tidak semua orang akan menjadi sarjana dalam ilmu alam, tetapi dasar-dasar pengetahuan alam seharusnya menjadi milik tiap anak, apa pun nanti spesialisasi bidang yang akan ia tekuni.
Namun, janganlah istilah “ilmu pengetahuan alam” direduksi menjadi capaian artifisial berupa nilai di kertas ujian atau rapor. Sebaliknya, anak perlu benar-benar tahu alam karena terbiasa di alam, mengamati makhluk, benda, fenomena di sana, bisa menarasikannya dan, yang lebih penting lagi, peduli pada kelestarian alam!
Semua itu perlu kita perbaiki. Kalau pelajaran sains bisa menyambungkan teori dan praktik ini dan penyampaiannya ditata dengan benar, maka yang terampil berpikir dan berbicara ilmiah tidak akan hanya para profesor di kampus, tapi orang-orang biasa di pinggir jalan.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “The Age at which Science Should be Taught” yang ditulis oleh George Cadell dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber foto: Maica
no replies