Oleh: Erin Pavlina
Beberapa tahun lalu, saya menjadi guru pengganti di Los Angeles. Ini kerja berat. Saya sama sekali tidak mendapat pelatihan. Saya diminta masuk kelas dan melanjutkan yang terakhir diajarkan guru tanpa tahu silabusnya atau nama-nama muridnya.
Tak heran, guru-guru pengganti sangat diremehkan. Tapi sahabat saya ini adalah guru kelas dua di sekolah yang sangat bagus di belahan elit Los Angeles dan dia selalu menghubungi saya kalau butuh pengganti. Saya menikmati mengajar di kelasnya karena dia akan meninggalkan catatan-catatan rinci tentang apa saja dan siapa saja. Siswa-siswinya adalah murid-murid paling manis yang pernah saya jumpai.
Saya sedang menjalankan tugas selama 3 hari di kelasnya karena dia pergi memberi pelatihan pada guru-guru lain. Saya berkeliling dan meminta siswa bergantian membaca keras-keras dari buku pelajaran. Ketika kami sampai pada giliran anak yang satu ini, aku sebut saja Jason, terlihat sekali ada suasana gelisah di kelas. Salah satu anak di bangku depan mencoba untuk memperingatkan saya tentang sesuatu, tapi saya tidak memahaminya.
Ketika Jason mulai membaca, dia tampak sangat tidak nyaman. Dia kesulitan membaca hampir setiap kata dari bagian bacaannya. Saya baru sadar setelah beberapa kalimat bahwa dia belum bisa membaca. Mukanya merah seperti kepiting rebus karena malu. Saya cepat-cepat pindah ke murid lain supaya dia tidak tambah malu. Saya tidak lagi memberinya giliran membaca setelah itu.
Nah, Jason ini sangat menonjol di bidang olahraga. Dia anak berbadan paling besar di kelas, dan saat istirahat semua anak ingin menjadi anggota timnya atau bermain dengannya. Dia sangat dikagumi di lapangan. Di pelajaran lain hari itu, saya mengajak anak-anak ke ruang seni karena mereka ditugaskan menggambar anjing dalmatian. Saya berjalan berkeliling kelas dan melihat dengan takjub gambar anjing Jason yang luar biasa, indah, hampir sempurna. Dia betul-betul seniman yang hebat, jauh melampaui kemampuan umurnya. Saya beritahu dia betapa indah lukisannya, dan saya lihat dia sangat bangga dengan kemampuan seninya. Lalu saya memberi anak-anak pekerjaan rumah untuk pelajaran mengeja dan itulah akhir hari pertama.
Pada hari kedua, sementara saya sedang menilai PR mengeja, saya temukan Jason mengeja salah hampir semua kata. Aku pikir ini aneh sekali karena ini bukan ujian, dia tinggal menyalin kata-kata itu dari buku, tapi ternyata hasilnya tetap seperti itu. Barangkali dia cuma malas, batin saya. Tapi rasanya tidak begitu. Barangkali orangtuanya tidak ada waktu membantunya, saya pikir. Tapi kok sepertinya juga bukan karena itu. Saya bertanya-tanya apa dia punya gangguan belajar seperti disleksia atau yang lain. Atau barangkali dia itu anak dengan gaya belajar kinestetis, bukannya visual atau auditoris seperti kebanyakan anak yang lain. Tingkat kemampuan artistik dan kekuatan fisiknya bagi saya menjadi tanda-tanda bahwa mungkin begitu.
Sementara hari kedua hampir berakhir, saya memanggil Jason dan bicara empat mata. Anak-anak lain ditugasi lagi menuliskan kata-kata yang harus dieja. Tapi saya bilang pada Jason bahwa saya mau dia menggambar, bukan menulis,kata-kata yang harus dia eja. Dia kelihatan bingung. Saya bilang, “Jangan tulis kata per kata di atas garis. Gambar saja kata-kata itu. Kau boleh mewarnainya, membuatnya besar atau kecil, mendekorasi kata-kata itu, gambar saja apa saja yang kau suka. Hanya, ejalah setiap kata sesuai contohnya saat kau menggambarnya.” Dia suka gagasan itu.
Pada hari ketiga ketika ia menyerahkan pekerjaan rumahnya, mengherankan! Dia mengubah kata-kata yang harus dieja itu menjadi karya seni yang indah dan semua kata itu dieja dengan benar! Dia merasa puas dengan hasil karyanya dan anak-anak yang berseru ohhh dan ahhh melihatnya. Saya bilang ke dia untuk menggambar tugas ejaannya lagi malam itu dan dia berjanji akan melakukannya. Waktu saya bersama anak-anak sudah usai dan saya mengucapkan salam perpisahan.
Esoknya adalah hari Jumat dan sahabat saya memberi tes ejaan kepada murid-muridnya. Dia menelepon saya kemudian dan berseru, “Kau apain si Jason? Selama ini ulangan mengejanya selalu jeblok, tapi kali ini dia dapat 100! Dan kenapa dia menyerahkan PR-nya dengan hiasan marker, krayon, dan glitter? Kamu bikin apa sih?” Perasaan saya bergejolak saking gembiranya memikirkan Jason! Saya menjawab, “Aku kasih dia cara baru untuk mengeja yang aku pikir lebih pas dengan gaya belajarnya.”
Kami mendiskusikan dugaan saya bahwa Jason anak kinestetis dan sahabat saya sangat bersemangat. Dia bilang dia akan membiarkan Jason bereksperimen belajar memakai gaya belajar kinestetis ketimbang gaya visual yang disukai oleh sistem sekolah. Di akhir tahun, Jason telah hampir berhasil mengejar tingkat kemampuan membaca, menulis, dan berhitung anak-anak yang lain. Sahabat saya bilang rasa percaya diri Jason membumbung tinggi dan dia tidak lagi menolak disuruh membaca di hadapan teman-temannya.
Saya belajar banyak dari pengalaman menjadi guru pengganti.
no replies