Orang suka bilang, “Otak kirinya kuat!” atau “Dia otak kanan banget!” Ada juga tes-tes online di media sosial yang konon memetakan apakah kita dominan otak kiri atau otak kanan. Omongan dan tes-tes itu tidak sepenuhnya salah, tetapi pada dasarnya, otak kita itu utuh, bekerja bersama.
Memang ada beberapa kasus ekstrem ketika anak-anak harus hidup dengan sebagian belahan otak saja. Mereka mengalami operasi otak pada usia dini, dan seluruh belahan otak sebelah kiri atau sebelah kanannya harus diangkat.
Semula para dokter cemas: apakah nantinya daya pikir anak-anak berotak sebelah ini akan turun secara drastis? Apakah mereka bakal mengalami kesulitan belajar? Ternyata didapati otak manusia itu plastis luar biasa. Belahan otak yang tersisa bisa mengkompensasi fungsi belahan otak yang dipotong, meski memang tidak optimal.
Gabungan Unik Kanan dan Kiri
Yang terbaik tentu saja kedua belahan otak sama-sama berkembang dan bisa bekerja sama secara selaras. Tiap belahan otak punya kontribusi khas masing-masing. Otak kanan bersifat visual, intuitif, holistik (mencari gambaran umum suatu kasus), dan sekaligus. Berbeda sekali dengan otak kiri yang auditoris, analitik, linear dan sekuensial (urut langkah-demi-langkah). Di tiap kegiatan, kedua belahan ini perlu berinteraksi.
Dalam bermusik, misalnya, belahan kanan memunculkan atau mencerna melodi, sementara kiri memunculkan atau mencerna notasi dan lirik. Dalam berbahasa, belahan kanan menangkap makna, menafsirkan itikad pembicara, merekam pola melodis bahasa (prosody), menyertakan gestur dan bahasa tubuh lainnya, berpikir metaforis; sedangkan yang kiri menganalisis suara (fonologi), urutan bunyi kata, sintaksis, tipe-tipe kata, dan berbagai aspek pemahaman bahasa lainnya. Jadi, sementara proses berpikir berlangsung, kedua belahan otak bekerja tandem, dan rangsang mental itu dioper bolak-balik di antara keduanya.
Cara khas belahan otak tiap anak berinteraksi inilah yang menghasilkan gaya berpikir dan strategi belajar yang berbeda. Tiap anak itu unik. Ada orang yang kuat dalam masalah detil dan akurasi, sehingga mungkin dia cocok bekerja di bidang pembukuan. Tapi di sisi lain, dia bisa jadi lemah kalau disuruh melukis, merancang bangunan, atau mereparasi mesin, yang butuh kemampuan visualisasi tentang gambaran besar dari keseluruhan detil itu.
Ketika Kanan dan Kiri Tak Serasi
Keunikan gaya pikir dan strategi belajar anak datang dari dua faktor: kecenderungan bawaan (genetis) dan pengalaman plus latihan yang dia peroleh. Nah, terutama faktor kedua inilah yang menentukan apakah belahan otak kiri-kanan anak bisa berinteraksi secara integral dan optimal atau tidak.
Tiap anak memang akan tumbuh menjadi pribadi dengan gaya pikir dan strategi belajar yang khas, tetapi tidak semua gaya pikir dan strategi belajar itu sama efektifnya. Sekali lagi, yang efektif dan optimal itu adalah jika kedua belahan otak sama-sama aktif dan bekerja sama secara integral. Karena kalau hanya salah satu saja yang berfungsi efektif sementara yang satunya lamban, tugas juga tak akan bisa diselesaikan dengan baik.
Berbagai kesulitan belajar anak di sekolah, jika dilacak, akan memperlihatkan ketidakserasian kerja antara kedua belahan otak anak. Contohnya:
- untuk mengeja dengan baik anak harus mengingat keseluruhan bentuk kata (otak kanan) sekaligus mengingat bunyi tiap huruf dalam kata itu secara urut (otak kiri).
- untuk fasih membaca, anak harus menangkap konfigurasi umum cetakan kata-kata (otak kanan), sekaligus bisa menganalisis urutannya dan sintaksisnya (otak kiri).
- untuk fasih mengungkapkan pendapat, anak harus memadukan antara urutan kata yang harus diucapkan (otak kiri) dengan bahasa tubuh yang tepat untuk menyertainya (otak kanan).
Anak yang tak imbang otak kanan dan kirinya, otomatis akan kesulitan mengeja, membaca, dan berargumen. Keseimbangan itu bisa terjadi jika anak memperoleh stimulasi yang mengaktifkan kedua belahan itu sekaligus, melatih keduanya bekerja sama.
Konflik Sekolah vs. Lingkungan
Sayang sekali, anak-anak zaman sekarang banyak yang dihadapkan pada situasi membingungkan. Secara tradisional, sekolah sangat berat orientasinya ke belahan otak kiri, tapi seringkali tanpa dibarengi pemahaman yang menyeluruh, seperti:
- Latihan mengeja dengan bacaan yang tidak bermakna
- Berlembar-lembar soal “fakta” matematika, tapi minim soal cerita atau latihan yang terkait dengan objek atau kehidupan nyata
- Daftar hafalan berbagai fakta, tanggal, nama, dan sebagainya
Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak masa kini justru lebih banyak diaktifkan otak kanannya. Mereka terekspos rangsang holistik dan visual, seperti:
- Video games yang banyak menampilkan kejutan dan gerakan
- Tayangan televisi dengan adegan yang berganti-ganti secara cepat
- Jenis musik yang tidak terlalu mementingkan lirik
- Percakapan yang banyak melibatkan gestur, tapi kalimat-kalimatnya singkat dan sederhana
Terlihat jelas bahwa pelatihan yang didapat anak-anak di sekolah berkonflik dengan pelatihan yang mereka peroleh di luar sekolah, yang satu menyasar otak kiri, yang lain menyasar otak kanan. Pertanyaannya, adalah bisakah dengan model pelatihan saling bertentangan yang berjalan sendiri-sendiri ini, anak-anak kita memperoleh pengalaman memadai tentang bagaimana mengaktifkan kedua belahan otak mereka secara integral?
Saat ini seiring makin intensifnya anak terekspos pada rangsang ke otak kanan, kita saksikan munculnya generasi baru yang sangat berbeda dari generasi masa lampau. Seperti apakah dampak perubahan karakteristik generasi ini bagi masyarakat ke depan? Yang tampak saat ini baru gejalanya. Kita masih terus menebak-nebak, dengan cemas. (bersambung)
Ini adalah ringkasan bab keenam Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”
no replies