Bayangkanlah suatu hari kita diberi hadiah benih sejenis tanaman langka yang sangat mahal. Si pemberi berjanji, “Jika berhasil merawat benih itu sampai jadi tanaman dewasa yang sehat dan bagus, kamu akan mendapat imbalan luar biasa besar.” Siapakah di antara kita yang menerima tantangan ini dan berusaha mati-matian agar berhasil? Sepertinya banyak yang mau.
Sekarang gantilah “tanaman langka” itu dengan “anak”. Tuhan menghadiahkan seorang anak yang unik dan sangat berharga bagi kita. Tersedia imbalan tak ternilai jika kita berhasil merawatnya jadi pribadi dewasa yang indah. Berapa banyak laki-laki dan perempuan yang akan serius menunaikan tantangan ini?
***
Seorang bayi lahir. Kita belum bisa melihat dengan jelas dia kelak akan mekar seperti apa. Iman saja yang membuat kita percaya bahwa dalam dirinya tersimpan banyak potensi, bahwa suatu hari nanti anak ini akan jadi berkat bagi dunia, bagaikan mawar yang merekah cantik menebar harum pada waktunya.
Namun, bertumbuh kembang itu butuh waktu dan selama prosesnya banyak sekali gangguan serta hambatan. Kalau pengasuh lalai, bisa saja angin kencang atau sengatan terik matahari merusak masa depan si tunas muda, lalu bunga yang kita nanti-nantikan tidak mekar sebagus yang kita harapkan.
***
Hari berlalu cepat. Bayi tiba-tiba telah jadi balita, lalu jadi remaja, lalu jadi dewasa. Bentuk fisiknya di tiap periode tampil berbeda-beda. Meski demikian, hidup manusia pada dasarnya satu kesatuan yang berkesinambungan, bukan fase yang terpotong-potong.
Masa lampau seseorang menentukan masa depannya. Masa kanak-kanak selalu meninggalkan jejak. Terapi secanggih apa pun yang orang terima setelah dewasa tak akan pernah melenyapkan efek pengasuhan yang sembrono atau abai yang dia alami semasa kecilnya.
Sayangnya, terlalu sering kita temui orangtua yang mengasuh anak secara asal-asalan. Ketika kebiasaan-kebiasaan buruk bermunculan bagai rumput liar dalam keseharian anak, mereka berhenti di rasa tak suka, mengomel dan marah-marah, tapi tidak melakukan upaya kongkrit untuk memperbaiki perilaku anak itu.
Acap para orangtua ini berharap semua masalah karakter yang muncul di rumah bakal dibereskan oleh sekolah. Ya, sekolah dianggap seperti “panti rehabilitasi” yang bakal memuluskan bopeng-bopeng perilaku anak akibat cara pengasuhan yang semrawut di rumah. Kalau sekolah gagal? Mereka lalu memasrahkan anak untuk “dihajar” oleh kehidupan keras di dunia nyata.
Mereka lupa pepatah lama: mencegah lebih baik daripada mengobati. Sebelum watak cemar terlanjur mengakar kuat dalam diri anak, bukankah lebih baik kita siangi dulu sejak dini?
***
Zaman bergerak cepat. Tantangan hidup di masa mendatang makin berat, kompetisi makin ketat. Agar siap menghadapinya, anak butuh diberi fondasi pendidikan karakter terbaik sejak usia dini. Para ayah-ibu yang sibuk, dihimpit oleh tuntutan pekerjaan, bakal butuh bantuan dari pengasuh berkualitas.
Namun, ingat! Watak buruk seseorang sering berasal-usul dari masa kecil, “dilatihkan” oleh orang-orang yang dulu mengasuhnya –bukan hanya ayah-ibunya, tapi orang dewasa mana saja yang terlibat mendampinginya sehari-hari.
Jadi, tugas ayah-ibu bukan cuma memastikan diri mereka sendiri menjadi teladan positif. Orangtua punya tanggung jawab untuk memastikan anak tidak terpapar pada pengasuh berwatak buruk. Jangan merekrut orang yang malah mencemari hidup anak dalam jangka panjang.
Alangkah baiknya jika suami-istri telah mengantisipasi hal ini sejak sebelum mereka punya anak: siapakah orang-orang yang bisa mereka andalkan untuk jadi mitra mengasuh anak? Pengasuh yang buruk tidak meringankan, tapi malah akan menambah beban masalah buat orangtua.
***
Sebelum merekrut calon pengasuh, teliti dulu wataknya. (Kalau ingin memasukkan anak ke PAUD, teliti dulu watak para guru di sana.) Ini penting sebab setiap kata dan tindakan si pengasuh akan meninggalkan kesan kuat pada si bocah, bahkan ditirunya.
Selidiki riwayat keluarganya, sebab pada umumnya seorang pengash akan mengikuti pola pengasuhan yang ia sendiri terima dari orangtuanya dulu. Kalau ayah-ibunya kurang ilmu mendidik, tahunya anak harus ditundukkan lewat amarah, bentakan, omongan kasar – sangat mungkin pola itu akan dia ulangi.
Sulit menemukan calon pengasuh yang berlatar baik? Kita bisa saja rekrut dia apa adanya lalu berusaha memperbaiki wataknya, dengan catatan kita harus mau investasi waktu dan energi yang cukup.
***
Apa saja yang harus kita koreksi dari si calon pengasuh?
Nomor satu, persepsi kolot bahwa anak yang baik adalah anak pendiam. Alhasil, si anak begini dilarang, begitu dilarang; ditakut-takuti ini bahaya, itu bahaya; tidak boleh banyak bicara atau bertanya; label “nakal” dilontarkan terus-menerus.
Bongkar persepsi itu. Buat si pengasuh paham bahwa anak itu kodratnya suka bergerak, menjelajah, berseru-seru atau tertawa keras. Berusaha membuat anak duduk manis sepanjang hari (misalnya, dengan menaruh anak di depan TV atau memberinya gawai) itu keliru.
Kedua, hasrat pengasuh untuk cari muka pada orangtua. Ini bisa memicu ambisinya untuk “mempercepat” tumbuh kembang anak yang dia asuh. Misalnya, memaksa bayi makan banyak-banyak atau belajar jalan atau baca-tulis-hitung, padahal secara fisiologis dan psikologis anak belum siap.
Orangtua harus waspada pada “kebijakan pendidikan” pengasuh, khususnya yang jelas-jelas membahayakan kesehatan anak. Kita harus melarang dan jangan pernah menganggap remeh, apalagi merestui, tindakan pengasuh yang seperti ini.
***
Sebagian orangtua merasa lebih aman menitipkan anak ke lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Mereka berpikir bahwa guru-guru PAUD tentunya lebih berpengetahuan dan terlatih untuk merawat anak-anak. Ya, seharusnya begitu, tapi juga belum tentu.
Dari riwayatnya, lembaga PAUD memang diinisiasi untuk membantu orangtua dalam pengasuhan anak-anak. Perintisnya adalah Friederich Froebel (1782-1852), murid dari Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827), dengan memakai istilah Kindergarten, atau taman kanak-kanak.
Konsep sistem PAUD Froebel sangat dilandaskan pada spiritualitas dan moralitas, alih-alih keuntungan bisnis. Pelatihan guru PAUD yang dibayangkan Froebel adalah penempaan watak dan kepribadian para calon guru secara utuh.
Pemahaman ini perlu jadi kritik bagi pelatihan calon guru PAUD yang sekarang jamak dikerjakan, yang cenderung condong ke keterampilan teknis (cara menyusun rencana pembelajaran, mengajarkan lagu-lagu atau permainan, menyibukkan anak dengan kegiatan ini-itu), alih-alih olah pikir, perasaan, jasmani, dan rohani mereka.
***
Selanjutnya, orangtua bisa belajar juga tentang teori Froebel tentang apa saja seharusnya peran seorang guru PAUD?
Pertama, sebagai teman bermain anak – teman bermain yang bersemangat, periang, dan cerdas. Alih-alih terus menyalak, “Diam dan duduk tenang!”, dia memberi keleluasaan pada anak-anak untuk main apa. Dia senang melihat anak-anak bergerak ke sana kemari, mengaktifkan anggota badan dan setiap otot di tubuh kecil mereka. Dia sendiri ikut asyik bersama para bocah itu: bermain, menyanyi, menari, membangun balok, bermain pasir, berjalan-jalan di alam, dsb.
Kedua, sebagai sumber informasi yang antusias bercerita dan menanggapi. Setiap kali anak datang melapor, “Lihat, Bu, aku menemukan ini!”, dia selalu punya kisah menarik atau lagu yang cocok untuk menanggapi temuannya. Anak-anak jadi makin berminat meski objek itu sesuatu yang “biasa-biasa saja” seperti batu atau bunga liar. Mereka menantikan kesempatan berjalan-jalan dengan sang guru, karena ke mana pun mereka pergi, selalu ada hal-hal baru yang membuat mereka makin antusias pada dunia.
Ketiga, menjadi “kompor” belajar anak. Minat anak pada sesuatu dikipasinya sampai menyala. Ulat yang menempel di daun itu bukan cuma makhluk kecil menjijikkan untuk dilewati begitu saja, tetapi calon kupu-kupu cantik yang bisa terbang ke mana-mana, yang berguna sekali di alam ini.
Sang guru mengajak anak mengamati, membawa pulang, memberi makan ulat itu, sampai dia melihat sendiri ulat berubah jadi kepompong, lalu kupu-kupu. Maka anak pun tak hentinya membicarakan soal ulat dan metamorfosisnya. Dari satu jenis ulat, anak tertarik pada jenis ulat-ulat lain, lalu tertarik pada aneka serangga lain, dst. Begitulah sejak kecil anak terpelihara rasa takjubnya pada alam semesta yang begitu luar biasa ini.
Keempat, ikut memastikan anak tumbuh sehat. Mana makanan bergizi dan mana yang “sampah”, yang anak boleh atau tidak boleh makan selama dalam pendampingannya, dia tahu aturannya. Aneka penyakit langganan anak, gejala dan tata laksana merawatnya, dia punya ilmunya. Menghadapi situasi darurat dan memberikan pertolongan pertama jika terjadi kecelakaan, dia bisa. Prinsip-prinsip dasar higienitas dan sanitasi, dia paham. Semua pengetahuan dasar tentang ilmu kesehatan anak dan segala keterampilan dasar ini harusnya sang guru peroleh dalam pelatihannya.
***
Penentu keberhasilan mendampingi anak usia dini pertama-tama ditentukan oleh kualitas kepribadian seseorang, bukan keterampilan teknisnya. Ini berarti pelatihan calon guru PAUD harus terutama menyasar pada penyempurnaan karakter mereka, khususnya disiplin diri dan semangat belajar.
Orang yang ingin mengabdi di dunia pendidikan setiap hari harus belajar mengelola pikiran, perkataan, dan tindakannya agar harmonis dengan Kebenaran, alih-alih emosional dan impulsif. Apabila karakter positif ini sudah mereka miliki, menambahkan pengetahuan, keterampilan, dan jam terbang bukanlah hal yang sulit.
Kualitas karakter ini adalah prestasi yang bisa dicapai semua orang, tidak tergantung pada garis keturunan atau status ekonomi. Ini artinya, terbuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi pendidik yang baik.
Justru para calon guru yang datang dari keluarga elit bisa lebih sulit menyesuaikan diri. Mengapa? Karena mengurusi anak mau tidak mau melibatkan kerja-kerja “kasar” – menyapu, mengepel, menceboki, dsb. – yang tidak biasa mereka lakoni. Agar bisa dengan senang hati menjalaninya, mereka harus lebih dulu membongkar sudut pandang bahwa di mata TUHAN, tidak ada tindak pelayanan yang hina. Dan jika di hati ada cinta kasih, tugas semelelahkan apa pun tetap membahagiakan.
***
Orangtua, pengasuh, guru PAUD, dan siapa saja yang ingin menjadi pendamping anak usia dini butuh bekal pengetahuan tentang hakikat anak dan perkembangan jiwanya (psikologi). Lihat anak sebagai sosok yang utuh: akalbudi mempengaruhi tubuh, tubuh mempengaruhi akalbudi.
Kenali kemampuan fisik dan mental yang unik pada tiap anak, pupuklah itu, dengan tetap menjaga tumbuh kembangnya serba seimbang. Jangan biarkan anak mengikuti kecenderungan alamiahnya sampai merusak keseimbangan tubuh dan akalbudi, apalagi melawan nilai-nilai moral.
Semua yang berlebihan itu tidak baik. Anak boleh suka bermain, tapi dia harus tahu bahwa ada waktunya istirahat. Anak boleh suka makan, tapi dia harus tahu kapan harus berhenti makan. Anak boleh suka memimpin, tapi dia harus tahu memimpin bukan memaksa. Dan seterusnya.
***
Kalau melihat anak berperilaku buruk, pendidik sejati menahan diri dari hukuman dan kekerasan fisik. Alih-alih mengayunkan tangan atau menaikkan nada suara karena marah, lihat situasi ini sebagai peluang untuk menggarap kekuatan dalam diri si anak sendiri. Sebab sekalipun masih sangat kecil, anak sebetulnya sudah bisa diajari tentang pengendalian diri.
Bukankah inti dari pengendalian diri adalah memakai kekuatan kehendak untuk memilih taat pada Kebenaran? Maka bantulah anak sadar bahwa dia mampu menyuruh dirinya sendiri memilih melakukan yang benar, bukan yang terasa enak. Percayalah bahwa dia mampu, dan lihatlah ternyata dia betul-betul mampu.
Jangan memakai kekerasan fisik untuk mendidik anak usia dini, itu bukan cara yang efektif. Terimalah realitas bahwa kehendak anak masih lemah, moralitasnya belum matang. Pukulan sekeras apa pun, cacian sekasar apa pun, tak akan mengubah hal itu.
Pujian “kamu anak baik ya!” atau hinaan “kamu ini memang nakal!” hakikatnya hanya respons emosional kita saja terhadap anak, bukan hakikat diri anak itu yang sesungguhnya. Hindarilah komentar-komentar emosional seperti itu.
***
JJ Rousseau berkata, masa kanak-kanak ibarat titik start dalam lomba lari kehidupan, periode ini adalah penentu karir masa depan seseorang. Karena itulah, idealnya semua orang yang ingin bekerja mengasuh anak-anak harus dididik dulu secara memadai.
Akan tetapi, selain bekal ilmu-ilmu dasar tentang anak, yang jelas wajib dimiliki, mereka terutama harus diuji soal kesungguhan menjalani panggilan ini. Apakah mereka punya jiwa mengabdi? Proses pendidikan itu panjang. Anak-anak butuh pengasuh yang gigih melatih mereka untuk taat, jujur, lemah lembut, dan bajik dalam segala hal.
Kebajikan ibarat berlian dengan banyak sisi, jika kita mengasah salah satu sisi sifat baik anak, maka itu akan membantu mencemerlangkan sekaligus seluruh sisi lain tabiatnya. Maka, tekunlah.
=========
Tulisan ini disadur dari “Kindergarten Nurses” oleh FA Debonnaire dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891 suntingan Charlotte Mason.
Sumber Foto: Schoolyard Blog
no replies