Oleh: Annette Mau*
Mengapa harus alergi ketika mendengar kata pemerintah dan peraturan? Betul, negara ini sudah merdeka cukup lama, tetapi di bawah pemerintahan lampau yang korup puluhan tahun, kita semua sadar bahwa pendidikan bukanlah prioritas.
Sumber daya manusia negeri ini sudah lama tidak terperhatikan, terhimpit di antara tuntutan keterampilan demi membentuk angkatan kerja yang asal jadi dan tidak berdaya saing. Moral negeri ini sudah lama layu karena keluarga tidak pernah menjadi bagian penting dalam pembangunan (kalau memang berbagai program pemerintahan lalu yang sporadis bisa dikatakan sebagai “pembangunan”).
Justru karena itulah kita berani mengambil jalan sepi ini, bukan? Kita memutuskan untuk mendidik anak-anak kita sendiri di rumah karena dari rumahlah pelajaran kehidupan bermula dan berpulang. Tidak merepotkan negara, tidak mengambil hak kita dalam anggaran pendidikan, tapi membangun komunitas sebagai ruang belajar, memfasilitasi sendiri proses belajar anak-anak kita, mandiri.
Kita memilih untuk tidak masuk ke dalam sistem meskipun kita sadar betul betapa asingnya berada di luar sistem dan kita tidak punya tempat mengadu kecuali pada sesama orang “gila” lainnya. Karena keberanian dan kenekatan itulah kita dengan bangga menyebut diri kita praktisi pendidikan berbasis keluarga atau homeschoolers.
***
Di tangan pemerintahan yang baru ada semangat untuk menata pendidikan dan melihat lebih dalam bagaimana sebaiknya menyusun program yang menjawab kebutuhan dan tantangan masa depan.
Betul, kemana saja mereka selama ini? Kenapa kita tidak pernah dimintai urun rembuk atas semua peraturan yang menjegal dan mempersulit kita? Kita sadar betapa jalan sepi yang kita pilih seringkali diterjemahkan sebagai pemberontakan melawan sistem dan kita sama-sama paham banyak pihak pencari keuntungan yang terus menerus mendompleng sebagai pemerhati pendidikan namun niat aslinya ya jualan.
Pemerintah ingin mengenal kita, praktisi pendidikan berbasis keluarga. Saya melihat niat baik itu. Namun kita ada di mana? Di rumah, di media sosial, sibuk menyikapi kebijakan dan wacana yang dilempar dengan mutung cemberut dan bertanya, “Pemerintah kok gitu?”. Sementara, para pencari keuntungan dengan sigap mendekati pemerintah dan membuka dialog, berlagak mewakili kita yang tidak pernah melembaga, padahal memperjuangkan periuk nasi mereka.
Sudah waktunya kita bergerak. Ya, bergerak menunjukkan kita ada, kita mampu dan kita bisa. Ketika Negara masih lalai, kita didik anak-anak kita di rumah justru karena cinta yang besar pada bangsa ini. Kita ingin anak-anak kita unggul bukan hanya di kepala tapi juga di hati.
Apakah kita akan diam jika pendidikan berbasis keluarga digolongkan sebagai tindak pidana dan diganjar hukuman? Kalau kita tidak setuju bahwa syarat keluarga yang hendak homeschooling adalah orangtua minimal bergelar strata 1, maka kita sebaiknya bagaimana? Sekedar tidak setuju tentu tidak cukup, kita harus bergerak.
Kita harus bergerak kalau kita ingin didengar. Kita harus bergerak kalau kita ingin maksud kita tersampaikan. Kebijakan lahir dari sebuah proses panjang. Kita harus mau terlibat, karena kekuatan yang terorganisir tentu lebih bisa mencapai tujuan.Kesalahpahaman muncul karena tidak mengenal. Jadi, mari bergerak agar mereka tahu apa yang kita yakini, apa yang sudah kita lakukan.
***
Membuka pintu dialog tentu membutuhkan penerimaan. Kita sebaiknya menghilangkan prasangka. Belajar dari masa lalu dan berjuang untuk masa depan. Saya pribadi bisa memahami bahwa pemerintah perlu satu ukuran yang bisa dipakai sebagai batasan karena mereka akan membangun sistem yang adil bagi semua yang sudah pasti prosesnya berliku. Ingat, anak-anak kita bukan hanya keturunan kita tetapi mereka juga penerus bangsa dan pemerintah berhak untuk menetapkan suatu ukuran bagi anak-anaknya.
Bagaimana menentukan kompetensi orangtua sebagai pengajar? Apa saja bahan ajar yang anak dapat dari luasnya kustomisasi pendidikan berbasis keluarga? Bagaimana keluarga menjamin anak-anaknya sehat lahir batin dan homeschoolingtidak digunakan sebagai alasan untuk pengabaian atas hak anak? Pengujian seperti apa yang bisa memfasilitasi luasnya model belajar dan ragam bahan ajar yang dijalani anak-anak homeschooling? Kitalah, para praktisi yang harus menyampaikan data dan faktanya dengan benar. Kita harus bergerak!
Di beberapa negara, pendidikan berbasis keluarga sudah memiliki sistem yang mapan dan dukungan penuh dari negara hingga ke hal pembiayaan. Untuk mencapai hal ini tentu harus ada aturan main seperti pendataan peserta didik, pelaporan mengenai model homeschooling, bahan ajar, biaya, dll. yang negara perlu ketahui untuk membangun support system seperti model ujian yang cocok, balai pelatihan keterampilan dan berapa hak dari anggaran pendidikan yang harus diberikan pemerintah kepada keluarga homeschooling.
***
Satu lagi yang saya bisa pahami dari kacamata negara adalah rentannya homeschooling dipakai sebagai instrumen radikalisasi. Saya pun baru menyadari belakangan ini, salah satu alasan mengapa homeshooling dianggap ilegal di Jerman karena sejarah Neo-Nazi. Memberikan porsi yang cukup besar untuk pendidikan agama dan spiritualitas tentu bukan radikalisasi, itu murni hak dan kewajiban orangtua. Namun mewariskan paham radikalisme dan anti-nasionalisme memang sangat efektif dengan metode homeshooling. Di Amerika, ada keluarga-keluarga dengan paham white supremacist yang melakukan homeschooling.
Saya pribadi memandang bahwa keluarga homeschooling perlu bekerjasama dengan pemerintah untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pendidikan kewarganegaraan dan teladan nasionalisme yang sesuai dengan standard kurikulum negara (tentunya kurikulum juga perlu banyak perbaikan).
Jadi, kembali ke seruan semula. Mari bergerak, bangun dialog, mengorganisir kelompok praktisi di daerah masing-masing, bersinergi antar daerah dan ikutlah dalam berbagai event temu dengan pejabat terkait, perkenalkan diri, dan berjejaring. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?
* Annette Mau: ibu dua anak, praktisi homeschooling di Jakarta
no replies