Merinding, trenyuh, marah, iba, rasanya campur-aduk ketika membaca artikel “Anak-anak Penerus ISIS” di TEMPO edisi 17-23 November 2014 halaman 106-108, tentang kamp pelatihan khusus ISIS di Suriah untuk kaderisasi anak-anak.
Sejak awal, isi artikel ini memang membangkitkan bulu kuduk. Diceritakan suasana ketika puluhan anak usia 8-18 tahun diajari bernyanyi dengan lantang sambil tertawa, “Kami akan membantai Anda!” Ke hadapan mereka ditayangkan video para tawanan ISIS yang dipaksa berlari hanya mengenakan celana dalam sebelum akhirnya dieksekusi. Lalu mereka diceramahi, “Jika ada yang menyakiti kalian, jangan ragu untuk melawan karena Allah ada di sisi kalian.” Berulang-ulang mereka diajak berteriak bahwa Amerika adalah musuh.
Anak-anak direkrut sebagai pasukan. Di hampir setiap daerah yang dikuasai ISIS, terdapat kamp pelatihan khusus anak-anak. Mereka diajari menggunakan senapan AK-47, membuat bahan peledak, cara berperang, sampai latihan memenggal orang dengan menggunakan boneka. Bocah-bocah itu dipaksa menonton acara pemenggalan kepala dan membawa kepala yang sudah dipenggal agar tak ada lagi rasa takut di hati mereka. Setelah kamp berakhir, anak-anak yang terseleksi akan dibawa ke medan perang untuk menjadi perisai atau pelaku bom bunuh diri.
Indoktrinasi ekstrem ditunjang oleh larangan bersekolah. ISIS sengaja menolak pendidikan modern bagi orang-orang dalam teritori kontrol mereka. Anak-anak ini diisolasi tanpa tahu informasi dari dunia luar. Hari-hari mereka hanya diisi pelatihan militer dan pelajaran agama dengan tafsir radikal. Mereka juga dilarang berbicara dengan keluarga atau orang lain. Perbedaan sama sekali tidak diberi tempat. Daya pikir kritis-introspektif dimatikan.
Bukan hanya untuk regenerasi pasukan, kamp semacam ini juga ditujukan melestarikan siklus radikalisasi. Dalam beberapa tahun, anak-anak itu akan jadi orang dewasa yang radikal. “Melihat kepala terpisah dari tubuh manusia tidak lagi mengganggu anak-anak itu. ISIS telah menghancurkan masa kecil mereka, juga merusak hati anak-anak,” ujar Raqqawi (bukan nama sebenarnya) yang mendokumentasikan kehidupan kelam di Suriah.
Tapi bagian yang paling menyesakkan hati adalah informasi bahwa ada juga anak-anak yang dengan senang hati bergabung dengan ISIS. Lewat bayangan tentang kemenangan, perasaan membela Tuhan, dan janji kalau tewas akan masuk surga, “bahkan para orangtua tidak bisa mencegah keinginan anak mereka yang ingin bergabung dengan ISIS secara sukarela”. Maka anak-anak yang tergabung dalam kamp pelatihan ISIS bukan cuma berasal dari Suriah, tapi juga Jerman, Prancis, Inggris, dan negara-negara lain.
***
Ada apa dengan anak-anak manusia ini, sehingga mudah sekali terkontaminasi oleh kekerasan dan kejahatan? Dari belajar sejarah, kita tahu bahwa bukan sekali ini anak-anak dimanfaatkan sebagai pasukan perang. Di Jerman, anak-anak sekolah dididik jadi Pasukan Muda Hitler, cinta mati pada sang Fuhrer dan tak berbelas kasihan pada bangsa Yahudi. Di Kamboja dulu, Khmer Merah mencuci otak anak-anak agar membenci, bahkan tega mengeksekusi, orangtua mereka sendiri. Di Rwanda, para remaja membantai tetangga dan teman-teman baik mereka setelah dibakar oleh ajaran kebencian pada etnis yang berbeda.
Anak memang bukan kertas kosong, kata Charlotte Mason, tetapi secara moral mereka belum matang. Mereka belum mahir membedakan yang benar dan yang salah, belum punya kekuatan kehendak untuk memilih mengerjakan yang baik dan menolak yang jahat. Pendidikan moral dan karakter butuh waktu yang lama sebelum akhirnya pribadi seorang anak menjadi matang sepenuhnya. Proses pendewasaan daya pikir dan moralitas itu bakal sangat tergantung pada atmosfir yang mengelilinginya, kebiasaan-kebiasaan yang dilatihkan padanya, dan ide-ide yang masuk ke kepalanya.
Itulah sebabnya, anak-anak selalu jadi sasaran empuk untuk direkrut menjadi pasukan radikal. Lebih mudah menanamkan ideologi kepada mereka. “Anak-anak ini tak memiliki acuan … sehingga ideologi akan lebih mudah masuk ke dalam kepala mereka dan sulit untuk menghapusnya,” ujar Charlie Winter dari Quilliam Foundation. Bahkan dengan nalar moral yang masih cekak itu, sekali dirasuki doktrin kekerasan, apalagi kalau dipanas-panasi oleh figur panutan atau teman-teman sebayanya, anak-anak dan remaja bisa jadi lebih nekat dan kejam dibanding orang dewasa.
***
Dari Suriah, kita introspeksi negeri kita sendiri. Fenomena kekerasan oleh anak dan remaja juga bermunculan di sini. Ada kasus pembunuhan Ade Sara oleh mantan kekasihnya, yang dibantu oleh kekasih baru si mantan kekasih – keduanya masih sangat muda. Perundungan (bullying) terjadi di sekolah-sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Salah satu yang menghebohkan adalah video pengeroyokan beramai-ramai seorang siswi SD di Bukittinggi. Beberapa orang teman sekelasnya menjotos dan menendangi dia yang terus menangis, seolah siswi itu hanya boneka saja, sementara teman-teman lainnya menyoraki dan menyemangati para perundung agar terus beraksi. Terakhir di harian Kompas kemarin (19/11) diliput kasus murid SD berusia 7 tahun yang dipukuli kakak kelasnya sampai terancam buta.
Jadi, sepertinya di Indonesia pun terjadi wabah kekerasan di kalangan anak dan remaja. Epidemy of violence, kata pakar kesehatan Gary Slutkin dalam presentasinya di panggung TED. Dan biasanya, lanjut Gary, respons terhadap wabah kekerasan ini terkutub ke dalam dua usulan. Pertama, jatuhkan hukuman! Ya, hukum seberat-beratnya si pelaku, kalau perlu hukum mati. Kedua, kritik semua pihak – mulai dari orangtua pelaku, sekolah si pelaku, sistem pendidikan, pemerintah, pokoknya kritik semua pihak – kecuali saya.
Kedua tipe respons itu, menurut Gary, tidak akan efektif menanggulangi wabah kekerasan. Hukuman tidak membuat kasus kekerasan berkurang. Kritik dan kecaman jarang berhasil membuat situasi membaik. Dari pengalaman panjangnya menangani epidemi, Gary melihat bahwa kita harus menangani wabah kekerasan dengan strategi dan langkah-langkah yang sistematis.
Pertama, harus disadari bahwa kekerasan itu bagaikan penyakit menular. Satu peristiwa kekerasan akan memicu peristiwa kekerasan berikutnya, yang skalanya mungkin lebih besar. Maka langkah penting dalam menghentikan wabah kekerasan adalah mencegat penularan. Pekalah pada situasi sekitar – di dalam keluarga kita, di sekolah anak-anak kita, di lingkungan perumahan kita, di lingkungan kerja kita – kenali siapa saja yang menunjukkan gejala-gejala ‘terjangkit virus kekerasan’. Kalau bisa tangani kasusnya sebelum kekerasan itu meledak, jatuh korban, atau menulari orang lain. Teknik membujuk, menenangkan, mengubah sudut pandang, bisa dipakai di tahap ini.
Kedua, kalau ternyata tingkat agresinya cukup parah, rujuklah anak atau orang dewasa itu ke tenaga profesional. Terapi-terapi tertentu akan membantunya untuk sembuh dari perilaku kekerasan, selain mencegah dia menyebarluaskan virus kekerasan itu pada orang lain.
Ketiga, karena pemberantasan wabah kekerasan tak bisa dikerjakan sendiri, maka mesti dikembangkan kekebalan kolektif masyarakat terhadap kekerasan. Perlu ada program-program edukasi publik, diperkayanya kegiatan komunitas yang positif, dan berbagai kegiatan inovatif lain yang bisa mendorong masyarakat memiliki standar dan aturan moral baru soal kekerasan. Tak akan lagi kita tertawa atau berkata “syukurin!” ketika melihat, misalnya, seorang maling digebuki dan dibakar sampai mati. Tak akan lagi kita diam saja ketika melihat, misalnya, tetangga kita melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap pasangan atau anaknya. Dan seterusnya. Bukan lagi dalam semangat ingin menghukum atau mengecam, tapi menyembuhkan.
***
Pada akhirnya, saya terpikir, lagi-lagi kita mesti mulai dari diri sendiri. Marah melihat kekerasan di Suriah, di Palestina, di Ukraina, di Indonesia? Bagaimana dengan kekerasan dalam diri kita sendiri? Sepertinya ketiga langkah yang diusulkan Gary Slutkin mesti diterapkan ke dalam diri kita juga. Kenali gejala-gejala kekerasan yang muncul dalam pikiran dan perasaan kita sebelum meledak. Cari bantuan ketika emosi kita betul-betul akut tak terkendali. Edukasi terus diri sendiri, suplai otak kita dengan ide-ide berharga, dan ikuti berbagai program positif agar kita terbiasa melihat dunia dengan semangat mencintai, bukan melukai.
Seperti kata orang bijak masa lampau ini:
“Ketika masih muda, aku ingin mengubah dunia.
Ternyata sulit mengubah dunia, maka kucoba mengubah bangsaku.
Ternyata sulit mengubah bangsaku, maka kucoba mengubah kotaku.
Ternyata sulit mengubah kotaku, maka kucoba mengubah keluargaku.
Ternyata sulit juga mengubah keluargaku.
Lalu aku tersadar bahwa yang bisa kuubah adalah diriku sendiri.
Jika aku berubah, keluargaku bisa ikut berubah.
Jika keluargaku berubah, kotaku bisa ikut berubah.
Jika kotaku berubah, bangsaku bisa ikut berubah.
Jika bangsaku berubah, dunia ini akhirnya bisa ikut berubah.”
no replies