Jakarta, CM Indonesia – Berulangnya kematian taruna baru akibat penganiayaan sejumlah seniornya menunjukkan bahwa tradisi kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta bersifat struktural dan butuh solusi mendasar. Demikian pendapat para pakar.
“Dengan fakta adanya siklus kekerasan atau rotation of violence culture, ini berarti masalahnya bersifat struktural, jadi secara sosiologis-kriminologis, kita tidak bisa menyalahkan oknum atau individu pelaku saja,” terang kriminolog Anggi Aulina Harahap saat dihubungi di Jakarta (13/1).
Budaya kekerasan muncul karena lingkungan lembaga sipil kedinasan mengadopsi nilai kepatuhan a la militer secara keliru. Di dunia militer, penggunaan disiplin fisik mengikuti metodologi tertentu dan ada kontrolnya. Namun, di lembaga pendidikan sipil, hukuman fisik malah menjadi alat kekuasaan dalam relasi senioritas.
“Harusnya lembaga modern meninggalkan kultur paramiliteristik ini, jangan mewariskan kekerasan sebagai sarana disiplin,” tambah Anggi yang mengusulkan adanya restrukturisasi ulang fungsi pendidikan sekolah kedinasan.
Sorotan pada faktor lingkungan juga dilontarkan oleh Najeela Shihab. “Tindak kekerasan bukan cuma soal korban dan pelaku, tapi tentang lingkungan yang memancing kekerasan,” ujar psikolog dan pendiri Sekolah Cikal tersebut. Namun asal ada upaya yang tepat, menurutnya perubahan budaya di sekolah bisa terjadi.
Sementara, pemerhati pendidikan Doni Koesoema beranggapan budaya kekerasan di STIP hanya bisa diakhiri jika ada revolusi mental dalam berpikir. “Selama kalangan staf maupun mahasiswa masih yakin model militeristik dibutuhkan, budaya kekerasan tetap terjadi, padahal model ini sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman,” kata penulis Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh itu.
Menanggapi lontaran DPR tentang tiga opsi untuk STIP: ditutup total, ditutup sementara, atau diawasi ketat, Doni beranggapan bahwa opsi pertama dan terakhir tidak tepat. “Ditutup total tidak baik karena tugas pemerintah menyediakan layanan bermutu. Diawasi ketat juga jangan karena justru itu bisa melahirkan kekerasan baru. Ditutup sementara, mungkin selama tiga tahun, bisa menjadi alternatif sembari mendesain sistem pendidikan yang lebih baik,” jelasnya.
Diberitakan pada hari Selasa (10/1), taruna baru STIP Jakarta bernama Amirullah Adityas Putra (18) tewas akibat dianiaya para seniornya. Tragedi serupa sudah pernah terjadi di sekolah yang sama pada tahun 2014 dan 2008 dengan korban Dimas Dikita Handoko dan Bastian Agung Gultom.
Penulis: Ellen Kristi
no replies