Jakarta, CM Indonesia – Keputusan Presiden Joko Widodo untuk tetap melanjutkan Ujian Nasional (UN) disambut sedih dan kecewa oleh para pegiat pendidikan. Menurut mereka, keputusan Presiden menolak moratorium UN tidak didasari pertimbangan substantif, melainkan politis.
“Sungguh disayangkan karena penangguhan UN sebetulnya sudah sesuai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikukuhkan Mahkamah Agung tahun 2009,” kata pakar evaluasi pendidikan Elin Driana saat dihubungi CMid, Selasa (20/12). Berdasar putusan hukum tersebut, seharusnya kualitas guru, sarana-prasarana sekolah dan akses informasi ditingkatkan dulu sebelum UN diberlakukan kembali.
Jika dikaji baik-baik, data yang ada justru bertolak belakang dengan klaim-klaim tentang kehebatan UN. “Hasil tes internasional PISA 2015 menunjukkan mayoritas siswa Indonesia masih lemah dalam kecakapan berpikir tingkat tinggi,” terang Elin. “Sebaliknya, dampak negatif UN seperti penyempitan kurikulum, terjadinya kecurangan, justru banyak terlihat.”
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema menganggap dengan melanjutkan UN, Presiden telah mengabaikan fakta-fakta rusaknya pengajaran dan pembelajaran di kelas, rendahnya kualitas pendidikan, dan tingginya kesenjangan kualitas pendidikan di daerah. “Alasan (melanjutkan UN) bukan berdasar pada pendekatan pedagogis, tapi lebih pada persoalan politik,” kritiknya.
Doni memprediksi, jika pendidikan terus dipolitisasi, ke depannya dunia pendidikan Indonesia akan makin suram. “Apa ini yang diinginkan pemerintah?” tanyanya.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang sejak awal mengawal usulan moratorium UN sangat menyesalkan keputusan Presiden. “Selama 12 tahun, UN terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan. Fungsi pemetaan tidak terlihat, yang nyata justru pemetaan ketidakjujuran,” ujar Sekjen FSGI Retno Listyarti.
Menurut Retno, Pemerintah melakukan kekeliruan fatal jika UN terus digunakan sebagai alat ukur segalanya, mulai dari kualitas guru, siswa, dan sekolah sampai ke syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. “Pemerintah harusnya sadar hal tersebut sangat tidak tepat,” ungkapnya. (EK)
no replies