“Kita memberi [anak] … banyak living books, karena kita tahu bahwa urusan kita bukanlah mengajarkan segala sesuatu kepadanya, tapi membantunya memiliki sebanyak mungkin relasi dengan perkara dan ide yang ia minati.” (Charlotte Mason, butir filosofi ke-12)
Education is a science of relationship, kata Charlotte Mason. Maksudnya, keberhasilan pendidikan bisa diukur dari seberapa banyak dan seberapa dalamkah hubungan batin yang terbentuk antara benak siswa dengan ide, tokoh, peristiwa, keterampilan manual, dan segala macam entitas pengetahuan yang muncul dalam proses belajarnya.
Jadi, tidaklah pantas kita sebagai pendidik berpuas diri ketika anak masih asal tahu saja, asal hafal saja. Dia terlihat bisa karena “sistem kebut semalam” menjelang ujian, lantas lupa setelah masa ujian usai. Yang ideal adalah anak menjadi bergairah dan berminat untuk mendalami sebanyak mungkin hal.
Terkait dengan buku-buku bacaan, pendidikan CM lebih memilih anak akrab betul dengan sedikit buku yang berkualitas ketimbang dia punya koleksi bacaan yang banyak namun mutunya picisan (twaddly).
Dengan panduan konsep “pustaka hidup” (living books) sebagai prinsip seleksi buku, orangtua tidak perlu lagi kebingungan atau kemaruk setiap kali pergi ke toko buku. Memang di sana tersedia banyak sekali tawaran buku anak, dengan tema dan desain warna-warni meriah. Sepertinya serba menarik, tapi jika diteliti biasanya hanya sedikit yang memenuhi kriteria sebagai pustaka hidup.
Sedari dini memperkenalkan anak pada buku-buku berkaliber pustaka hidup bukan cuma akan membuat mereka suka membaca. (Charlotte menyebutkan usia 12 tahun sebagai titik kritis tradisi membaca; anak yang pada usia 12 tahun masih tidak suka membaca biasanya akan meneruskan sisa hidupnya sebagai pribadi yang enggan membaca.) Lebih dari itu. Relasi dengan koleksi pustaka hidup sejak dini mengkondisikan anak untuk menjadi penyuka buku-buku bermutu. Setelah dewasa kelak, “ia tidak mencari dan akan menolak jika ditawari buku-buku picisan,” kata Charlotte.
Apa tanda-tanda anak sedang atau telah menjalin relasi dengan buku-bukunya? Dari pengalaman pribadi saya sendiri dan rekan-rekan di Komunitas Charlotte Mason Indonesia, ada beberapa indikasi yang akan terlihat:
- Anak minta dibacakan buku itu berulang-ulang.
- Anak menceritakan kembali isi buku itu atas inisiatif sendiri, baik pada orangtua, orang dewasa lain, temannya, atau bonekanya.
- Anak mendramatisir adegan-adegan buku itu dalam permainannya, misalnya bermain peran sebagai tokoh dalam buku itu.
- Anak mengasosiasikan pengalaman sehari-harinya dengan isi dari buku. Anak kedua saya, misalnya, sejak berusia 3 tahun sudah sering menghubung-hubungkan yang ia lihat dengan adegan tertentu dari serial buku kesayangannya.
- Anak meniru atau menciptakan sendiri gambar-gambar yang berkaitan dengan isi buku itu (biasanya ini terjadi ketika ilustrasi buku itu sangat berkesan baginya).
- Anak terinspirasi (atas inisiatif sendiri, bukan karena disuruh) membuat atau mempraktekkan sesuatu yang dijelaskan di dalam buku itu. Misalnya, anak saya tiba-tiba menggunting kertas menjadi boneka-boneka kertas seperti tokoh Laura di buku Rumah Kecil di Rimba Besar.
- Anak bisa menarasikan isi buku itu dengan baik meskipun telah berselang lama sejak dia membacanya
no replies