“Kalau kita ingin anak-anak sungguhan bertumbuh, kita harus sadar mereka bukan sapi; kalau kita tidak tega memberi mereka makan muntahan secara fisik, jangan biarkan mereka memamah biak muntahan juga secara intelektual. Tak mungkin anak terus-menerus mengunyah bahan pelajaran yang menjemukan itu tanpa akal budi mereka menjadi mati rasa dan lumpuh.” (A Philosophy of Education, hlm. 53)
Sejak remaja saya kagum pada tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti “Tiga Serangkai” Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara); pendiri Boedi Oetomo Dr. Sutomo; juga duet proklamator Muhammad Hatta dan Soekarno.
Saat memikirkan mereka, pertanyaan yang senantiasa muncul dalam benak saya adalah: Dalam situasi negeri yang penuh dengan keterbatasan, mengapa bisa lahir orang-orang dengan kualitas keilmuan dan karakter ulung seperti itu? Apa yang membuat mereka bisa menjadi orang-orang besar?
Otomatis saya membandingkan zaman mereka dengan zaman sekarang. Apa yang kurang dari zaman sekarang? Sekolah ada di mana-mana. Teknologi jelas lebih maju. Informasi nyaris bisa diperoleh dari mana saja. Namun, mengapa seolah ada “penurunan kualitas” manusia, baik secara keilmuan maupun karakternya? Tampaknya ada sesuatu yang salah dengan masa kini, tapi di mana? Pikiran-pikiran semacam itu menggelisahkan saya.
Baru beberapa tahun kemudian, saya menemukan jawabannya – ketika menyelami pemikiran Charlotte Mason (CM).
***
Pada bagian awal “A Philosophy of Education”, volume tulisannya yang keenam, ternyata CM mengungkapkan keprihatinan serupa. Ia kecewa karena pada saat Perang Dunia I terjadi, pemuda-pemuda sehat dan kuat lebih memilih tinggal di rumah alih-alih melayani negara dan sesama.
CM pun bertanya-tanya seperti saya (dalam versi yang lebih filosofis tentunya): mengapa orang-orang yang secara kasat mata berpendidikan tinggi ini tak mampu bersikap melampaui kepentingan-kepentingan sempit mereka sendiri? Mengapa tidak muncul dalam diri mereka dorongan untuk bermurah hati – istilah CM, “patriotisme berbasis nalar”?
Dari telaahnya CM berkesimpulan: tidak bisa tidak, ada yang salah dalam pendidikan pada masanya. Memang pemerintah sepertinya telah menyuruh anak-anak ke sekolah dan menyibukkan mereka dengan aneka rupa kegiatan akademis. Namun, CM dengan tegas mengatakan: itu bukan pendidikan!
***
Saya terhenyak membaca kalimat demi kalimat tulisan CM, yang kalau saya sadur bebas bunyinya bakal seperti ini:
Kita meminta anak-anak membaca penggalan-penggalan fakta dalam buku LKS mereka. Kita meminta mereka mengerjakan soal-soal pilihan ganda. Kita menyuruh mereka belajar rajin supaya lulus tes dengan nilai yang bagus. Kita mengajari mereka hal-hal teknis untuk membuat mereka terampil dalam bidang tertentu. Lalu kita bersikeras menyebut itu semua sebagai ‘pendidikan’.
Mengapa itu tidak bisa disebut pendidikan? CM mengajak kita menelisik kodrat manusia. Manusia itu bukan hanya makhluk material, tapi juga spiritual. Diri anak-anak yang material maupun spiritual sama-sama butuh asupan agar bisa bertumbuh secara optimal.
Secara jasmaniah, tubuh anak butuh asupan berupa makanan. Secara spiritual, akal budi anak butuh nutrisi berupa ide. Hanya apabila dipasok oleh pemikiran-pemikiranlah, maka benak anak akan menjadi lebih berpikir.
***
Sayangnya, acap kali terjadi pengabaian terhadap sisi spiritual anak-anak yang tak terlihat ini. Dan sama seperti tubuh agar sehat tidak boleh makan sembarang makanan, akal budi pun demikian. Hanya ide-ide berhargalah yang membuat budi tergugah.
Namun, lihat, buku dan bacaan macam apa yang kita sajikan pada anak-anak selama persekolahan? Buku-buku teks dan LKS yang garing! Benar, buku-buku teks itu sarat dengan informasi, tapi hanya sebatas itu. Buku teks dan LKS tak sanggup memikat, mencerahkan, atau meluaskan imajinasi anak. Hampa nilai, tidak membangun karakter.
Jangan heran bila melihat kebanyakan siswa tak punya gairah membaca: apa menariknya buku-buku teks dan LKS itu?
***
Setelah menyadari akal budi anak menuntut diberi hidangan pengetahuan dalam bahasa yang hidup, masihkah tega memberi mereka muntahan fakta-fakta garing untuk dicerna?
Pendidikan CM meminta kita untuk tidak meremehkan selera dan kemampuan intelektual anak-anak. Semua anak punya potensi luar biasa untuk memahami buku-buku berkualitas. Menyediakan living books justru akan menggugah anak untuk berpikir mandiri.
Guru tidak perlu repot-repot membuat lesson plan yang rumit, jungkir balik agar pembelajarannya fun dan menarik. Anak mampu kok mencerna pengetahuan secara swadaya. Syaratnya satu: buku-bukunya harus bermutu!
Asal idenya memikat, guru dan orangtua tak perlu lagi kebanyakan ceramah. Sebaliknya, makin banyak kita mengoceh, semenarik apa pun, itu malah akan membuat benak anak makin pasif, tergantung pada kita. Itulah yang terjadi selama ini bukan: guru berusaha keras mengajar, tapi akal budi anak tetap tertidur.
***
Akal budi anak mampu mencerna pengetahuan secara swadaya, sebagaimana lambung secara alami mencerna makanan. Lalu, CM bertanya, buat apa kita masih menyibukkan mereka dengan lembar-lembar kertas ujian berisi soal-soal pilihan ganda? Itu sama dengan merendahkan kapasitas berpikir yang anak miliki.
Buat CM, tes-tes komprehensif itu memposisikan anak seolah sapi yang diminta memuntahkan lagi yang sudah mereka makan, supaya si pemilik bisa mengecek sejauh mana makanan berhasil tercerna di lambungnya. Proses seperti justru menjadi penghambat tumbuh kembang akal budi anak.
“Belajar supaya lulus tes” adalah kultur yang mendatangkan bencana. Berapa banyak anak yang akhirnya mencontek sekadar demi mendapat nilai memuaskan? Itu menunjukkan bahwa anak belajar bukan karena mencintai ilmu pengetahuan. Lalu setelah dewasa, mereka menjadi manusia-manusia berpikiran dangkal, yang hanya mampu membuat keputusan dengan sudut pandang sempit.
***
Kalau kita kecewa melihat rendahnya minat baca, etos kerja, kreativitas, sampai akhlak para lulusan sekolah kita, kemungkinan besar di negeri kita sedang terjadi yang CM istilahkan sebagai “malnutrisi spiritual”.
Wabah kurang gizi spiritual terjadi karena kebanyakan sekolah mengabaikan spiritualitas sebagai aspek hakiki manusia. Anak-anak digembleng terus secara teknis, dipersiapkan menjadi pekerja dan pencari nafkah, tapi karakternya tak pernah digarap secara serius.
Bukan berarti pelatihan teknis tidak penting. Itu penting, tapi jangan sampai porsinya berlebihan. Pelatihan bukan pendidikan. Pendidikan yang sejati mesti menumbuhkan akal budi, bukan sekadar menyiapkan anak jadi pencari nafkah.
Janganlah kita sampai merampas hak akal budi anak untuk menjelajah dunia ide yang luas. Menyedihkan bukan mendapati seseorang yang begitu tergerus oleh rutinitas kerja harian sehingga tak mampu menikmati musik atau lukisan, karya puisi atau sastra, diskusi filsafat atau sejarah, tidak sempat berkesenian atau berolah raga?
***
CM yakin, dengan metode pendidikan yang tepat, anak akan bertumbuh menjadi pribadi utuh, segala apa yang ada dalam dirinya berkembang secara holistik. Anak akan mampu mengaktualisasi potensi diri, menjalani profesinya dengan baik, sekaligus tahu bagaimana mengabdikan hidupnya untuk kepentingan di luar dirinya.
Mengabdikan hidup di luar kepentingan diri? Iya, betul! Pendidikan sejati seharusnya tidak hanya berbicara soal bagaimana mengalahkan orang lain. Sebaliknya, pendidikan sejati seharusnya memasok anak dengan limpahan ide yang menggugahnya untuk bergabung dalam kubu orang-orang besar di segala zaman, yakni kubu orang-orang yang hidup untuk membawa manfaat bagi sesama.
***
CM punya banyak saran agar sekolah bisa menghantar anak jadi manusia-manusia berjiwa besar.
Tinggalkan model pendidikan yang utilitarian. Sediakan atmosfer inspiratif. Latihkan kebiasaan-kebiasaan baik. Perkaya kurikulum para siswa. Suplai anak dengan buku-buku bermutu yang penuh ide berharga, mulai dari buku sastra, sejarah, ekonomi, sains, dsb. Latih mereka membaca dengan konsentrasi penuh sehingga sekali baca saja cukup untuk menarasikan yang sudah dibaca – narasi sangat penting agar anak berelasi dengan buku-bukunya. Tidak perlu lagi ujian-ujian pilihan ganda atau mengisi titik-titik.
Ketika sekolah tidak lagi sekadar menjadi tempat drilling persiapan ujian, para siswa pun akan dipenuhi rasa cinta dan takzim pada ilmu pengetahuan. CM sudah pernah menerapkan model pendidikan yang seperti itu di sekolah-sekolahnya dulu, dan berhasil. Semuanya itu mungkin!
no replies