“Kehendak tidak bisa tidak bebas, walaupun objeknya bisa benar bisa salah — ini masalah pilihan dan tidak ada yang namanya pilihan kalau bukan pilihan bebas … Perintah “Pilihlah pada hari ini!” berlaku juga dalam soal pikiran-pikiran apa yang kita izinkan untuk berdiam di benak kita.” (A Philosophy of Education, hlm. 136-137)
Suatu siang, dalam perjalanan menuju kantor, saya melihat sepasang suami istri yang bertengkar di pinggir jalan. Mereka saling berteriak satu sama lain dan mengungkapkan kekesalan mereka. Sepertinya suaminya itu sudah lama tidak pulang sehingga sang istri naik pitam dibuatnya. “Kasihan sekali istrinya, tapi ya seharusnya dia tidak berteriak-teriak di pinggir jalan begitu dong, sungguh tidak sopan!” Namun saat benak saya ke sana kemari memikirkan kejadian selintas tadi, tiba tiba saya teringat pada tulisan Charlotte Mason yang saya baca pagi tadi.
Charlotte mengumpamakan cara kita melihat dunia dengan memilih lensa. Dalam setiap kejadian, kita bisa memilih untuk melihat dengan lensa yang mana. Ada dua macam lensa. Yang pertama dia sebut sebagai “Imparsialitas” (candour), suatu sikap apa adanya, jujur, tulus yang membantu kita melihat segala sesuatu dengan lebih baik.
“Imparsialitas ingin menolong kita. Ia menawari kita kacamata yang punya kemampuan melihat hal-hal yang ada di kejauhan secara fokus dan menjadikan hal-hal yang kabur menjadi lebih jelas.” (Ourselves, hlm. 145)
Sebaliknya, ada lensa berkabut yang membuat penglihatan kita lebih gelap dan tidak bisa focus. Charlotte menyebutya sebagai “Prasangka” (prejudice).
“Prasangka menawari dirimu kacamata yang tak jernih, yang tak membiarkan cahaya menembusnya. Kacamatanya ini berwarna, bisa merah, hitam, hijau, atau kuning, berubah-ubah sesuai kasusnya.” (Ourselves, hlm. 146)
Para pecinta fotografi tentu paham benar fungsi lensa. Tak mungkin ada gambar bagus tercipta manakala kita menggunakan lensa yang berkabut. Saya pernah memiliki lensa lama yang berkabut, mencari titik fokus memang sulit dibuatnya. Alih-alih memberi gambar yang jelas dan terang, lensa berkabut membuat warna jadi tidak sesuai dengan aslinya karena kurangnya kemampuan menangkap cahaya.
Kontras dengan lensa berkabut, memiliki lensa tele dengan kemampuan zoom yang tinggi mungkin dambaan setiap pembidik gambar. Betapa tidak! Dengan lensa tele, kita bisa melihat berbagai sudut kota dengan detail yang lebih jelas, yang mata telanjang tak mampu mendeteksinya. Alhasil, gambar pun lebih indah. Bahkan seekor kecoak yang dianggap menjijikkan, saat dipotret dengan lenza zoom akan terlihat berbeda – ternyata kecoak memiliki pola warna kulit yang sebenarnya sangat indah. Dan saat kita bisa menemukan keindahan pada hal yang sebelumnya kita anggap menjijikkan itu, rasanya ada perasaan yang lebih terang, lebih positif.
***
Saya jadi tersadar, sepertinya saya sedang memandang kejadian siang itu dengan lensa yang berkabut. Seandainya saya memakai kacamata Imparsialitas, saya akan dapati diri berpikir, “Ah, si ibu pasti lelah hingga ia kelepasan berbicara seperti itu!” dan bukannya berprasangka menuduhnya berlaku tidak sopan.
Memakai lensa tele Imparsialitas ini untuk memotret berbagai peristiwa dalam tatanan kehidupan, kita tak akan mudah menghakimi. Saat melihat seorang teman yang berkata-kata kasar setiap waktu, kita mendapati ternyata dia kesepian, tidak punya teman bicara yang pas, lalu kita tergerak untuk mendekatinya. Saat memerhatikan bos yang sering menyalahkan anak buahnya, kita dapati ternyata itu bukan karena dia berniat kejam, melainkan sekadar ingin membantu anak buahnya bekerja lebih baik, hanya saja ia tak tahu cara bicara yang tepat. Saat mengamati tetangga yang kerap nyinyir, kita jadi paham bahwa dia cuma butuh lebih diber perhatian. Aparat pemerintah yang kerap kali kita kritik cara kerjanya pun ternyata sudah berusaha melakukan yang terbaik yang ia bisa, jika melihat sistem yang menaunginya. Kita bahkan tetap bisa memetik pelajaran dari tokoh politik yang paling kita benci sekalipun.
Namun, sama seperti di dunia fotografi, sebagian pembidik gambar bertahan menggunakan lensa lama yang berkabut ketimbang menggantinya dengan yang baru. Soalnya, mereka merasa memakai lensa lama jauh lebih mudah dibandingkan mengusahakan lensa keren karena harganya mahal. Mereka merasa tak mampu memperolehnya, meski tahu lensa baru itu mampu membidik gambar dengan detail dan jelas
Lensa “Prasangka” mudah sekali digunakan. Kita terbiasa menggunakannya. Manakala ada seseorang memberi kita makanan, kita lalu berpikir: “Wah ini dia pasti ada maunya!”. Melihat status teman di media sosial, kita terpikir: “Ah, pasti dia mau pamer aja nih!” atau “Sok bijak sekali, pasti biar beken!”. Atau melihat orang yang berseberangan jalur politik, kita berpikir: “Dasar orang-orang dungu, gitu aja nggak bisa mikir, dulu sekolah bolos melulu pasti!” atau “Kepengen jadi presiden aja tuh pasti dia, sok baik!” atau “Walk the talk! Bisanya ngomong doang …”
Ah, sungguh lensa prasangka macam ini membuat dunia lebih suram ya. Dan saat kita melihat dunia lebih suram, rasanya segala sesuatu bawaannya salah. Kitapun menjadi lekas marah, lekas bosan, pesimis, pasang muka cemberut, dan mudah terjebak dalam kehidupan dangkal makna yang ke sana kemari hanya membicarakan keburukan orang lain. Kita kehilangan rasa untuk membidik dunia dengan gambar yang lebih indah. Hidup pun akan terasa lebih suram
Saya pikir, lensa netral membuat pemikiran kita lebih stabil. Kita jadi tidak mudah marah karena terlatih untuk melihat detail dulu sebelum membuat kesimpulan. Kita tidak mudah lelah karena pikiran tidak dipenuhi prasangka buruk, yang sesungguhnya merugikan diri sendiri. Melihat detil tanpa keberpihakan juga akan membantu kita mencari solusi daripada sekedar mengutuk sesuatu. Wah, rasanya kok lebih indah ya hidup seperti itu.
Charlotte menegaskan bahwa sebenarnya setiap manusia sudah dibekali dengan kedua lensa tersebut. Tinggal kita pilih, mau menggunakan yang mana?
no replies