Oleh: Penny Gardner*
Charlotte Mason sangat mencintai alam. Rutinitas hariannya menunjukkan betapa alam menjadi prioritasnya. Ia menghabiskan hampir dua jam setiap sore di alam terbuka, tak peduli cuacanya seperti apa atau sesibuk apa pun dia.
Waktu masih muda, biasanya ia berjalan-jalan. Tapi kesehatan Charlotte memang rentan; perempuan baik hati ini mengidap penyakit jantung. Maka akhirnya, ia harus menukar acara jalan-jalan yang sangat ia cintai dengan naik kereta kuda.
Pak Barrow, yang dua puluh tahun bekerja sebagai penjaga kebun dan kusir di kolese guru Charlotte, bercerita: “Bu Mason sayang sekali kepada kudanya, dan kuda sangat membantu kalau ia ingin mengamati burung-burung, sebab burung tidak takut kepada binatang seperti mereka takut kepada manusia. Dan pertanyaan pertama Bu Mason kalau tinggal di hotel selama liburan Paskah adalah apakah saya dan kuda kesayangannya Duchess merasa nyaman dan sudah kenyang? Kepada sahabat-sahabatnya yang bertanya mengapa ia tidak mencari kendaraan bermotor, ia menjawab, ‘Aku bisa ngobrol dengan kuda, tapi tidak dengan motor.’ Dan hal itu terbukti ketika suatu kali kami lewat di air terjun Skelwith pada hari berbadai. Bu Mason ingin pulang karena merasa tidak sehat dan dia memberi perintah untuk pulang. Karena suara ribut air terjun, saya tidak mendengarnya. Tapi Duchess mendengar, dan ketika saya mencoba untuk menahannya dari berbalik pulang, Bu Mason memberi isyarat bahwa Duchess benar. Dia mendengar dan paham.”
“Mental Bu Mason benar-benar tangguh karena di tahun-tahun belakangan kami berpapasan dengan banyak pengendara motor, yang ngawur dan sebagainya. Kaki kuda kami pernah ditabrak motor. Bu Mason tetap bisa tenang, padahal penumpang yang lebih muda biasanya sudah akan panik lalu melompat keluar dari kereta, yang bisa mencelakai diri mereka sendiri lebih parah. Bu Mason juga selalu tepat waktu, tidak pernah membuat orang lain dan kudanya menunggu, dan tidak pernah meninggalkan kereta tanpa dengan ramah mengucapkan ‘Selamat sore!’ dan ‘Terima kasih, Barrow!’; dan ‘Karung kita penuh harta karun!’ kalau hari itu ia berhasil mengamati banyak burung.” (The Story of Charlotte Mason oleh Essex Cholmondeley hlm. 67-68)
Pemahaman Charlotte tentang kuda ditampilkan dalam volume-volume bukunya. Berikut ini beberapa kutipan yang memakai kuda sebagai ilustrasi.
“Engkau bisa menuntun kudamu ke air, tapi kau tak bisa memaksanya minum; engkau bisa menyajikan ide-ide kepada pikiran cemerlang anak, tapi kau tidak tahu ide yang mana yang akan dia serap, dan yang mana yang akan dia tolak. Dan pentinglah kita terus mengingat bahwa tameng kepribadian ini dikaruniakan pada setiap anak. Orangtua bukanlah pemain utama dalam proses belajar ini. Bagian kita hanyalah memastikan bahwa lumbung pendidikannya dipasok terus-menerus dengan ide-ide yang mulia dan menginspirasi, lalu kita harus menyerahkan pilihan kepada selera anak untuk mencerna mana yang dia suka, sebanyak yang dia mau.” (Vol. 2, hlm. 127)
“Kita tahu kita bisa menuntun seekor kuda ke air, tapi kita tidak bisa memaksanya minum. Yang saya keluhkan adalah, kita tidak sedang menuntun kuda kita ke air. Kita menyajikan baginya buku-buku teks yang menyedihkan, ringkasan fakta-fakta, yang harus dia hafalkan dan sebutkan saat ujian; atau kita memberinya berbagai pengetahuan yang sudah dijadikan bubur, dicernakan oleh gurunya dengan barangkali hanya beberapa tetes ide hidup yang tersisa dari satu galon pelajaran. Padahal selama ini di pustaka kita tersedia buku-buku, yang meluap dengan ide-ide segar dari benak para pemikir tentang setiap mata pelajaran yang kita harap untuk perkenalkan kepada anak.” (Vol. 3, hlm. 170)
“Dengan mendesak satu metode pendidikan mandiri bagi anak-anak … saya ingin menawarkan kelegaan luar biasa bagi para guru; … perbedaannya persis seperti menunggangi kuda yang mau dan tak mau bekerjasama. Kuda yang pertama berderap gembira selaras kehendaknya sendiri dan si penunggang pun melaju dengan gembira. Guru yang membukakan bagi para siswanya keleluasaan untuk menjelajah kota buku-buku akan punya kebebasan untuk menjadi pembimbing, filosof, dan sahabat mereka; ia bukan lagi sekedar instrumen dari proses indoktrinasi intelektual yang penuh paksaan.” (Vol. 4, hlm. 32)
“Anak-anak selalu memperhatikan sepenuhnya, tak ada bagian yang perlu diulang, tidak ada garapan yang perlu direvisi; mereka selalu bergerak maju, tidak pernah perlu mundur lagi mengulangi apa yang sebelumnya ia kerjakan, tidak pernah berputar-putar seperti kuda di penggilingan … Maka, buku-buku teks yang selama ini ada di sekolah harus digusur dan digantikan oleh bacaan literer, yakni buku-buku yang ke dalamnya para penulis telah mencurahkan hatinya dan kepakarannya.” (Story of Charlotte Mason, hlm. 175, mengutip salah satu kuliah Charlotte)
Demikianlah Charlotte menyampaikan ‘isi hati para kuda’. Banyak lagi yang bisa kita pelajari dari filosofi dan metode pendidikan Charlotte Mason. ‘Karung kita penuh harta karun’ ide-ide abadinya yang ia wariskan kepada kita melalui tulisan-tulisannya. Semoga mental kita cukup tangguh untuk ikut menunggang dengan tenang di dalam kereta kuda Charlotte di tengah riuh rendah lalu lintas sistem pendidikan kita masa kini.
* diterjemahkan dan disunting dari Penny Gardner, “Charlotte Mason Study Guide: A Simplified Approach to a ‘Living’ Education” (2007) hlm. 8-9.
no replies