Coba cermati orang di sekitar anda, adakah yang menunjukkan gejala-gejala berikut ini: mudah terdistraksi, sulit fokus, tak bisa membuat perencanaan yang baik, emosional, impulsif (kalau ingin sesuatu harus langsung diperoleh saat itu juga), berpikir jangka pendek, susah menyetop diri dari perilaku tak menyenangkan meski tahu itu tak baik, tidak selaras omongan dan tindakan, sukar menangkap ide-ide abstrak, tak tahu caranya merenung atau introspeksi, motivasinya cepat surut, semangat memulai proyek baru tapi tak bisa menuntaskannya?
Jika ya, anda patut curiga otak depan (prefrontal cortex) orang itu bermasalah. Otak depan menjadi singgasana dari yang disebut “Sang Direktur” (the executive), pusat dari kemampuan mengorganisasi, memperhatikan, dan berefleksi. Seseorang akan kesulitan menjalankan ketiga fungsi itu jika otak depannya entah rusak (misalnya karena kecelakaan) atau tak berkembang (karena tidak mendapat latihan cukup).
Banyak anak balita yang sukar fokus, tenang, memperhatikan, berperilaku tertib – itu wajar sekali karena fungsi eksekutif mereka belum matang. Kematangan otak depan terjadi pada usia sekitar dua puluh tahunan. Prosesnya panjang, tak bisa digegas, dan sangat dipengaruhi pertama-tama dan terutama oleh cara orangtua atau pengasuh mendampingi tumbuh kembang anak sehari-hari.
Anak Butuh Bicara
Untuk matang, otak depan butuh stimulasi bahasa. Sejak bayi, ia menyerap setiap kata-kata yang didengarnya dari sekeliling. Lalu ia belajar menirukannya, keras-keras. Saat jatuh, ia mungkin berkata pada dirinya sendiri, “Sayang, sayang, cup-cup!” atau ketika ingin melakukan sesuatu yang dilarang, ia mengingatkan diri sendiri, “Nggak boleh, Nino, nggak boleh!” sambil menggoyang-goyang telunjuk, persis seperti gaya bicara ayah-ibunya kalau sedang menghibur atau melarang.
Menurut pakar anak asal Rusia Lev Vygotsky, tahap bicara meniru-niru untuk diri sendiri ini disebut egocentric speech. Tahap ini pertanda baik kemampuan berpikir anak tengah berkembang. Seiring pendewasaan otak depan, ucapan egosentris ini meresap dan anak mengembangkan keterampilan berdialog dalam batin (inner speech). Proses dialog batin yang tak kasat mata ini ajaibnya akan membentuk konfigurasi fisik otak anak!
Jadi pada tahun-tahun pertamanya, anak sangat butuh bicara. Anak perlu ruang eksplorasi berbahasa, mengucapkan kata, menyusun kalimat, mengajukan pertanyaan, termasuk bicara pada dirinya sendiri, dengan bersuara. Sayangnya masih banyak guru PAUD yang malah melarang anak usia dini bicara selama di kelas, menyuruhnya diam terus!
Anak Butuh Dialog
Anak tak bisa mematangkan otak depan atas usahanya sendiri. Ia sangat butuh stimulasi dari lingkungan, khususnya stimulasi bahasa. Akan sangat menguntungkan bagi anak jika ia memiliki ayah-ibu yang telaten mengajaknya bercakap-cakap tentang segala hal.
“Mama, aku mau ke kamar mandi!” seru anak usia empat tahun itu di dalam pesawat terbang.
“Kamu kebelet pipis? Sungguhan?” sahut sang ibu.
“Nggak terlalu sih,” katanya.
“Kalau memang kebelet, nanti Mama antar, tapi adik harus dijaga siapa ya?”
“Titipkan ke tante di sebelah ini saja.”
“Oh, tidak boleh.”
“Kenapa nggak boleh?”
“Kita tidak boleh meninggalkan anak-anak dengan orang asing.”
“Aku haus, Ma!” anak itu ganti topik.
“Sebentar lagi pramugari datang membawa macam-macam minuman. Coba kamu pikir dulu, kamu ingin minta minuman apa sebelum dia kemari.”
Mereka lalu berdiskusi tentang mana yang lebih sehat, jus atau soft drink sampai akhirnya si anak memutuskan, “Jus jeruk saja. Eh, kenapa Mama membuka meja ini?”
“Supaya kamu nanti punya tempat untuk menaruh gelasmu. Nah, kalau begini kan kita siap.”
“Nanti aku juga mau tanya ah, ada makanan atau tidak di pesawat ini?”
Si anak mengajak ibunya mengobrol terus, dan sekarang berganti topik ke: “Ma, coba ulangi lagi, kita pindah ke mana?”
Sang ibu mengeluarkan peta, dan sambil mengurusi bayi dan tas, ia menunjukkan satu titik.
“Papa di situ ya? Kita nanti serumah lagi, hore!”
“Ya, dan besok kita akan mengunjungi sekolah barumu. Kamu akan ketemu guru baru dan teman-teman baru, banyak sekali teman baru, pasti asyik.”
Anak itu terdiam sejenak, wajahnya mendung.
“Mama,” katanya sedih, “aku belum bisa baca.”
Ibunya tersenyum. “Memang anak seumur kamu belum harus bisa baca – kamu kan baru empat tahun.”
Ini adalah percakapan nyata yang Jane Healy, penulis Endangered Minds, saksikan dalam suatu penerbangan. Dia sangat kagum pada sang ibu yang sadar tidak sadar tengah melatih anaknya menggunakan bahasa untuk mengendalikan diri, merancang rencana, dan mengantisipasi masalah. Jane yakin, anak ini kelak akan relatif mulus menjalani kehidupan akademis di sekolah karena fungsi eksekutifnya telah terstimulasi dengan baik.
Anak Butuh Latihan Bertahap
Otak depan akan sangat terbantu berkembang jika pengasuh melatih anak menguasai tugas-tugas secara bertahap. Kekeliruan orangtua seringkali adalah menganggap anak sama paham dan sama mahir dengan dirinya. “Ayo, bersihkan kamar!” kita memberi perintah. Lima menit, sepuluh menit, setengah jam, dan kamar tetap tidak ia bereskan. Kita menjadi marah. Padahal mungkin problemnya bukan anak tidak mau membereskan kamar, tapi dia bingung harus mulai dari mana!
Anak-anak yang belum terbiasa mengerjakan satu tugas baru, harus diajari dulu langkah demi langkahnya. “Turunkan dulu semua barang yang ada di kasur. Tata bantal-guling, rapikan seprei. Sekarang pilah barang yang di lantai, mana mainan, mana alat tulis, mana prakarya. Masukkan ke wadah masing-masing.” Dan seterusnya. Instruksi bertahap seperti itu akan memudahkan otak depan anak mencerna sistematika menuntaskan satu pekerjaan. Makin sering diulang, makin ia paham, dan akhirnya bisa dilepas menggarapnya secara mandiri.
Mungkin Kitalah Biang Masalahnya
Dr. Martha Bridge Denckla, seorang neurolog spesialis anak, mengkhawatirkan anak-anak masa kini yang orangtuanya sangat sibuk sehingga tak pernah lagi makan bersama, berdialog dengan anak-anak. Ayah-ibu tak punya waktu dan energi untuk mengajari anak membuat perencanaan, jadwal harian, menata kamar, dan pengorganisasian sehari-hari lainnya. Dan fenomena ini justru banyak terlihat pada keluarga-keluarga kelas menengah atas, yang secara finansial sangat sejahtera.
“Ini seperti anak yang tak bisa berbahasa karena tak pernah diajak bicara (language deprivation),” kata Denckla. Irama hidup harian anak kacau, rutinitasnya amburadul. “Relasi sebagian orangtua dengan anak semata-mata rekreasional. Mereka menganggap tugas mereka hanya menyediakan hiburan bagi anak, urusan pendidikan dipasrahkan pada sekolah. Padahal coba kita selidiki, benarkah sekolah mengajari anak cara mengendalikan diri dan menata kehidupan? Memang ada sejumlah anak yang selamat dari masalah, tapi berapa banyak anak yang akan jadi bermasalah?”
Di sisi ekstrem lain, ada orangtua yang maunya selalu ikut campur dalam tiap detil keseharian anak. Alih-alih mengajari anak menggarap tugas lalu lambat laun melepasnya agar mandiri, tipe orangtua ini mengambil alih tugas anak. Mungkin mereka pulang ke rumah dalam kondisi sudah capek, sehingga merasa kerja-kerja domestik akan lebih cepat selesai kalau ditangani sendiri – anak menyingkir saja. Mungkin mereka merasa tugas anak cukup mencari nilai bagus di sekolah saja, urusan rumah tangga lain pasrahkan ke pembantu. Atau mungkin memang orangtua selalu serba cemas kalau-kalau pekerjaan anak tak beres, jadi anak selalu didikte dalam mengambil keputusan, tak diizinkan bereksplorasi mandiri apalagi melakukan kesalahan.
Biarkan Anak Memecahkan Masalah
Tanda krusial perkembangan fungsi eksekutif ialah anak makin mampu memecahkan masalahnya sendiri. Dan ujian keterampilan memecahkan masalah ada dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di lembar kerja teoritis. Di sini, anak butuh orang dewasa yang bisa berperan sebagai penyangga sementara (scaffold).
Sebagai penyangga sementara, tujuan akhir kita adalah kemandirian anak. Untuk itu, orangtua atau guru perlu intens berinteraksi dan mengenal anak dengan baik, jadi kita tahu apa persisnya tantangan berikutnya yang anak butuhkan agar ia keluar dari zona nyaman, sedikit demi sedikit. Vygotsky mengistilahkannya sebagai zone of proximal development (ZPD). Ibarat anak belajar berjalan, awalnya kita gandeng erat, lalu kita gandeng dengan telunjuk saja, dan akhirnya kita lepas. Orangtua yang terus mengawal akan punya insting kapan dan seberapa jauh anak harus dilepas.
Biarkan selalu anak mengeluarkan semaksimal mungkin kemampuannya, kita menutupi kekurangannya sebagai figuran. Dengan demikian anak belajar menyelesaikan porsi tugasnya, menyadari pentingnya kegigihan agar tugas bisa selesai, bertanggung jawab atas hasil pekerjaannya, dan merasakan kepuasan personal terhadap sukses yang diraihnya.
Ini adalah ringkasan bab kesembilan Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”.
no replies