Saat ini sulung saya Yosua sudah memasuki tahun keempat proses homeschooling-nya dengan metode pendidikan CM. Dalam keseharian, kami tidak memakai sistem testing sekolahan sebagai penentu prestasinya. Yosua juga relatif tidak kenal metode menghafal dalam proses belajar.
Saya dan suami berusaha tak pernah memberi iming-iming hadiah supaya Yosua semangat belajar. Saya dan suami tidak mengukur prestasi anak dari nilainya, tapi dari seberapa besar gairah belajar yang dimilikinya, seberapa jauh perkembangan belajar yang ia lalui. Ketika anak berinisiatif mempelajari ini dan itu, bagi kami itu prestasi. Ketika anak banyak bertanya, itu prestasi. Ketika anak terus berusaha dan berusaha semakin baik dalam bidang yang ia tekuni, itu prestasi besar.
Ketika Yosua atas inisiatifnya sendiri mempelajari partitur-partitur musik yang baru, bagi saya itu prestasi. Saya berbahagia ketika tiap pagi mendengar Yosua langsung berlatih piano tanpa disuruh. Sungguh senang rasanya saat Yosua meminta saya mengunduh lagu ini-itu dari internet.
Belum lama ini, lantaran sering mendengar seorang teman memainkan Fur Elise, Yosua tertarik mempelajarinya juga. Dia mendapati ada partitur lagu itu di bagian akhir buku Beyer miliknya. Sejak itu, tiap hari dia berlatih Fur Elise. Dia juga jadi berminat pada riwayat komposernya, Ludwig van Beethoven, dan meminta saya mencarikan biografinya.
Betapa senangnya Yosua ketika saya berhasil mendapatkan cerita masa kecil Beethoven! Dia begitu menikmati setiap bagian cerita itu, mulai dari kisah Beethoven yang membuat komposisi lagu saat berusia 10 tahun, bentuk organ di zaman Beethoven masih kecil, sampai nasib Beethoven yang kehilangan pendengaran tapi masih terus mampu membuat komposisi musik dengan mengandalkan hati dan ingatannya.
Yosua hobi menggambar dan yang ia gambar tak jauh-jauh dari hobi musiknya. Gambar diri Beethoven, partitur musik, atau ansembel musik, misalnya. Dia menikmati proses belajar ini, bukan karena paksaan atau karena iming-iming hadiah.
Saya jadi teringat masa kecil dulu. Saya belajar piano lantaran disuruh orangtua, sementara Yosua sekarang belajar piano karena keinginannya sendiri. Saya ingat dulu saya selalu melihat jam dinding tatkala tengah berlatih, bawaannya ingin cepat-cepat selesai – berbeda dengan Yosua yang tanpa disuruh pun terus bercengkerama dengan piano, baik pagi, siang, maupun malam hari.
Inikah yang disebut oleh Charlotte Mason, education is a science of relationship, ketika benak anak menjalin relasi dengan subjek yang dipelajarinya, maka belajar itu akan menjadi proses yang benar-benar memuaskan baginya?
Saya setuju pada pemikiran CM bahwa setiap anak terlahir dengan hasrat untuk mempelajari segala hal di sekelilingnya. Anak-anak suka bertanya, bukan karena ingin juara, tapi karena memang ingin tahu. Bagi mereka, mengetahui itu saja sudah merupakan suatu kesenangan. Learning is a pleasure in itself. Itulah sebabnya mereka suka belajar apa saja. Rasa ingin tahu asali inilah yang idealnya menjadi motivasi utama anak dalam belajar. Jika anak belajar karena merasa butuh dan suka, maka sepanjang hayatnya dia akan menjadi pembelajar mandiri.
Belajar karena suka akan jauh lebih efektif ketimbang belajar karena paksaan. Jika belajar dilakukan hanya demi nilai atau ranking, prosesnya tidak akan memuaskan rasa ingin tahu anak atau menjawab kebutuhannya. Artinya, esensi belajar tidak terpenuhi.
no replies