Imperium Romawi abad pertama Masehi. Di masa yang sangat lampau ini pun para pemikir sudah menyusun konsep pendidikan. Salah satunya Plutarch, seorang sejarahwan ternama. Dari mempelajari pemikirannya, kita mendapat bahan untuk mengevaluasi pendidikan di zaman kita sendiri.
Plutarch mengartikan pendidikan sebagai proses menggembleng keseluruhan diri anak, baik jasmani, mental, maupun moral. Tujuannya agar anak punya karakter yang luhur saat ia dewasa.
Proses pendidikan, menurutnya, sudah dimulai bahkan sebelum anak dilahirkan. Semua calon orangtua perlu menjaga diri mereka murni dalam tubuh dan jiwa selama masih lajang, agar tidak merusak anak mereka kelak. Dia terutama menasihati para lelaki agar jangan berhubungan intim berganti-ganti pasangan atau kecanduan minuman keras.
Dia menulis: “Kalau fondasi salah diletakkan dalam keluarga, tidak akan beruntung nasib keturunannya”. Sebaliknya, “hidup anak-anak yang punya orangtua bermartabat akan dipenuhi oleh percaya diri dan kebanggaan”.
***
Plutarch mengibaratkan mendidik seperti bertani. Agar hasil panen bagus, kita butuh tanah yang subur, benih yang baik, dan kerja keras sang petani. Begitu pula agar anak berperilaku luhur, dia butuh kodrat, nalar, dan kebiasaan.
Kodrat artinya sifat bawaan. Nalar artinya keterampilan berpikir dan keluasan pengetahuan. Kebiasaan artinya latihan panjang melakukan hal-hal yang baik berulang-ulang.
Soal kodrat, anak tidak bisa memilih. Sejak lahir dia sudah membawa kondisi fisik dan pembawaan tertentu. Ketampanan, tubuh yang lengkap atau atletis, IQ yang tinggi, itu lebih soal keberuntungan. Anak juga tidak bisa memilih siapa orangtuanya, apakah orangtuanya bermoral atau tidak.
Syukurlah, kodrat bukan penentu nasib. Tanah yang keras dan berbatu-batu pun bisa menghasilkan panen melimpah, asalkan digarap dengan sungguh-sungguh dan ditaburi benih yang baik. Artinya, siapa pun bisa memperbaiki kodratnya yang buruk lewat pendidikan.
Sebaliknya, kodrat yang bagus bakal tersia-sia tanpa pendidikan. Bukankah tanah yang subur pun, kalau ditelantarkan dan tidak ditanami benih berkualitas, hanya bisa menumbuhkan alang-alang dan semak belukar?
***
Plutarch memberi contoh eksperimen yang dilakukan oleh Lycurgus, pemimpin Sparta. Suatu ketika, Lycurgus punya ide membesarkan dua anak anjing dari induk yang sama dengan cara yang berbeda. Anak anjing pertama dibiarkan hidup sesukanya, yang kedua dilatih jadi anjing pemburu.
Setelah kedua anak anjing itu mencapai umur dewasa, Lycurgus membawa mereka ke hadapan bala tentaranya. Dia letakkan daging mati di sisi sebelah sini dan seekor kelinci hidup di sisi sebelah sana. Lalu kedua anjing itu dilepas. Seketika, anjing pertama menyerbu daging mati, anjing kedua berlari mengejar kelinci.
Lycurgus berkata, “Inilah bukti pentingnya pelatihan, pembiasaan, pengajaran, dan bimbingan terhadap capaian hidup. Kedua anjing ini berasal dari rahim yang sama, tapi dengan didikan yang berbeda, yang satu jadi makhluk rakus biasa, yang satunya jadi pemburu hebat.”
***
Dalam tulisannya, Plutarch berusaha meyakinkan orang-orang pada zamannya untuk tidak menyepelekan pendidikan masa kanak-kanak. Saat lahir, tubuh dan benak anak begitu plastis. Ini adalah periode penting ketika seorang anak mudah menyerap pelajaran apa pun dari sekelilingnya.
Kelak seiring bertambahnya usia, bentuk fisik dan karakter anak makin mapan dan kaku. Sama seperti kaki yang terlanjur bengkok sulit diluruskan, begitu pula karakter yang terlanjur mengeras dalam keburukan bakal sulit diubah.
Itu sebabnya, orangtua harus cermat mendidik anak-anak yang masih serba lentur ini. Mereka harus dirawat agar tumbuh sehat dan kuat, baik raga maupun benaknya. Kacaunya pendidikan dasar akan merugikan bukan cuma anak dan orangtua, tapi juga negara.
***
Sayangnya, masyarakat masih banyak yang terlalu meremehkan urusan pendidikan ini. Mereka seolah belum sadar bahwa pendidikan adalah instrumen utama perbaikan kodrat manusia. Pendidikan berkualitas akan memunculkan manusia-manusia berwatak luhur.
Banyak orang lebih sibuk memikirkan kemajuan karir dan bisnis mereka, ketimbang pendidikan anak. Socrates sampai menyindir, “Hai, orang-orang tua, kalian mengerahkan atensi untuk melipatgandakan kekayaan, tetapi pernahkah berpikir sedikit saja tentang anak-anak yang kelak akan mewarisinya?”
Senada dengan Socrates, Plutarch mengkritik orangtua yang serius menyeleksi kandidat karyawan untuk bisnis mereka, menggaji tinggi-tinggi pengelola bisnisnya, tapi asal-asalan saat mencarikan pengasuh atau guru buat anak-anaknya. Asal orangnya mau dibayar murah jadilah. Kata Plutarch: itu terbalik!
Peran pengasuh dan guru itu lebih menantang dibanding karyawan perusahaan. Jadi, memilihnya pun tak boleh sembarangan. Saat hendak merekrut mitra mendidik anak, orangtua harusnya riset secara saksama dulu. Jangan sampai terkecoh iklan atau tren.
Bukankah saat memilih sepatu, kita harusnya mementingkan kesehatan kaki dibanding keindahan sepatu? Begitu pula soal memilih pendidikan, prioritaskan esensi, alih-alih sekadar mengejar gengsi.
Anak akan mendapat manfaat besar kalau punya pengasuh dan guru manusia-manusia berbudi. Bagai Phoenix bagi Achilles, mereka akan menghantar anak asuh atau siswa mereka menjadi pahlawan masyarakat.
***
Pada masa Plutarch, publik mengelu-elukan orang yang fasih berpidato dan berdebat. Jadilah, para orangtua dengan penuh ambisi “mengkursuskan” anak-anak mereka sejak kecil untuk bicara di depan umum. Sayangnya, anak-anak itu hanya dipoles tampilan luar dan keterampilan teknis saja; cara bicaranya kelihatan menarik, padahal isi pembicaraannya dangkal.
Begitulah. Godaan besar orangtua dalam mendidik anak adalah hanyut oleh tren, ikut-ikutan kata mayoritas. Padahal, pendidikan yang ambisinya sebatas menyenangkan selera pasar biasanya bakal lebih sibuk dengan pencitraan dan gengsi ketimbang makna dan esensi.
Plutarch berharap orangtua punya ukuran keberhasilan pendidikan yang lebih esensial. Kecakapan yang bersifat warisan seperti IQ atau bakat, itu tidak tepat dijadikan tolok ukur kehebatan anak. Capaian yang juga bisa diraih oleh orang jahat, seperti jumlah kekayaan atau ketenaran yang diraih, juga tidak tepat. Keunggulan yang akan lenyap digerogoti umur, seperti badan besar atau kecantikan, jangan pula terlalu dikagumi.
Prestasi pendidikan haruslah kualitas yang terkait moral dan tak lekang dimakan usia. Apa itu? Kebijaksanaan dan kekuatan moral, jawab Plutarch. Kemampuan mengendalikan seluruh diri untuk selalu bertindak luhur, kualitas ini makin tua, makin diuji oleh kesulitan, justru akan makin matang.
***
Seperti apa kurikulumnya agar anak bisa bijaksana? Plutarch bilang materi pelajaran yang terpenting adalah filosofi. Pada zaman itu, filosofi punya arti yang luas, bukan hanya keterampilan menalar, tapi juga pendidikan moral dan agama.
Filosofi adalah pelajaran yang menggembleng anak agar mahir membedakan benar dari salah, adil dari curang, jalan hidup berharga dari hina. Dan filosofi ini bukan sebatas tahu teori-teori yang bagus, tapi harus juga bisa mempraktikkannya.
Plutarch menyebutkan ada tiga elemen dalam hidup, yakni perenungan, kerja praktis, dan kesenangan. Terlalu banyak perenungan tapi tidak bisa kerja, tak ada gunanya. Kerja terus-menerus, apa bedanya dengan hewan atau budak yang tak berbudaya. Apalagi kalau hidup isinya cuma mengejar kesenangan, seseorang akan jadi makhluk egois dan bobrok. Anak harus dididik agar hidup seimbang dalam ketiga hal itu serta, yang tak kalah penting, bisa berguna bagi masyarakatnya.
Ini berarti kurikulum pendidikan isinya jangan gemblengan akademis semata. Mengasah akalbudi itu penting, tetapi nantinya ketika terjun di masyarakat, kualitas non akademis akan menentukan sukses dan nama baik anak.
Misalnya, apakah anak tahu tata krama, pandai berdiplomasi (tahu kapan harus keras, kapan harus mengalah), terampil mengendalikan kata-kata dan emosi, punya integritas, berani bekerja keras, tidak canggung saat terjun ke kerja-kerja teknis?
Lewat filosofi, anak belajar mengendalikan segenap pikiran, hasrat, dan emosinya; membuat pilihan-pilihan arif dalam hidupnya; menempatkan dirinya secara tepat dalam relasi dengan Tuhan, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia. Plutarch mendapati bahwa ilmu inilah yang dimiliki figur-figur paling mengagumkan dalam sejarah.
Apakah berarti anak cukup belajar filosofi saja? Tentu tidak, jawab Plutarch. Anak juga butuh menguasai ilmu-ilmu yang membuat mereka hidup sehat dan sejahtera raganya. Namun, tetap yang paling penting adalah memastikan anak waras dan prima jiwanya. Pujangga Phocyclides bilang, pasoklah anak sejak kecil dengan kisah kepahlawanan dan inspiratif, bukannya gagasan-gagasan sampah.
***
Selain kurikulum, cara mendidik juga ada prinsip-prinsip idealnya. Plutarch mengamarkan orangtua agar jangan memakai kekerasan atau cara-cara yang merendahkan anak. Pukulan, bentakan, makian, semua itu hanya akan membuat anak bermentalitas budak.
Tentang hadiah dan hukuman (reward and punishment), Plutarch bilang ujian dan teguran adalah sarana yang lebih baik ketimbang kekerasan; dengan catatan: harus digunakan secara bijaksana, pada waktu dan tempat yang tepat.
Terlalu banyak dipuji bisa membuat anak sombong, sementara terlalu banyak ditegur bisa membuat anak tak percaya diri. Idealnya, orangtua menguasai seni memotivasi dan keterampilan memupuk perkembangan rasionalitas anak agar dia bisa menimbang secara mandiri baik-buruknya suatu perilaku.
Plutarch juga meminta orangtua hati-hati dengan klaim “ini demi kebaikan anak” atau “ini karena ayah/ibu sayang padamu”. Dia melihat banyak orangtua yang merancukan antara ambisinya dengan kepentingan terbaik anak. Mereka menuntut anaknya harus berprestasi, harus juara, harus menonjol. Anak-anak itu dibebani dengan tugas-tugas yang melampaui kapasitas mereka, sampai akhirnya stres.
Sama seperti tanaman butuh air tapi kalau ditenggelamkan bakal mati, begitu juga anak butuh dorongan dan tantangan, tapi jangan berlebihan. Perkembangan anak itu sifatnya bertahap. Sesuaikan latihan dengan kemampuannya, mulai dari tugas yang ringan lalu makin lama makin berat ketika dia sudah siap.
***
Mendidik anak bukan hal ringan. Banyak kali perilaku anak bakal memancing emosi orangtua. Maka, pendidikan itu ibarat pedang bermata dua, sebetulnya yang harus dididik menjadi bijaksana bukan hanya anak, melainkan juga orangtua sendiri.
Terutama orangtua harus bersungguh-sungguh menggembleng diri dalam kesabaran sekaligus ketegasan. Sama seperti dokter mencampurkan obat yang pahit dengan sirup yang manis agar pasien mau meminumnya, begitu pula orangtua perlu memadukan teguran dengan kasih sayang agar pesannya sampai ke hati anak-anak.
Realitasnya di masyarakat, tidak semua orangtua leluasa mendampingi tumbuh kembang anaknya. Sebagian orangtua butuh bantuan dari tenaga pendidik bayaran, entah guru atau pengasuh. Namun, sebagai penanggung jawab utama proses pendidikan anak, orangtua tidak boleh asal pasrah kepada pihak ketiga lalu lepas tangan.
Dalam hal ini, penting bersikap selektif memilih guru dan pengasuh. Jangan biarkan anak didampingi oleh sembarang pengasuh. Rekrut hanya yang berkarakter baik dan, kata Plato, tahu menjaga lisannya.
Namun, seberapa bagus pun tampaknya kinerja pihak ketiga itu, orangtua tetap wajib memantau secara berkala hasil pendidikan yang diperoleh anak. Tanpa keterlibatan serius orangtua, anak bisa jadi korban: karena merasa tak diawasi, si guru atau pengasuh itu bisa bekerja asal-asalan atau justru melakukan penyelewengan jabatan (abuse).
***
Ide-ide pendidikan Plutarch tidak seluruhnya orisinil, banyak juga yang dipinjam dari para pemikir sebelum dia, dan ulasannya masih bias gender. Namun, ada satu pesan kuat Plutarch yang sangat relevan untuk masa kini, yakni bahwa pendidikan tidak sama dengan persekolahan dan orangtua memainkan peran yang tak tergantikan oleh guru profesional dalam pendidikan anak-anak mereka.
Di dunia modern kita, saat orangtua makin sibuk bekerja juga anak makin muda masuk sekolah dan makin panjang waktu sekolahnya, kita perlu merefleksikan ulang pesan ini. Kita perlu belajar dari Plutarch untuk bisa bersikap kritis pada persekolahan modern yang tujuannya lebih ke urusan menyiapkan anak jadi pekerja siap pakai dalam sistem industri.
Catatan terakhir: Bukan hanya orangtua yang harus kembali menyadari amanat mereka sebagai pendidik utama anak. Sesungguhnya, harus juga ada kesadaran dari para pengelola sekolah dan guru untuk tidak mengambil alih peran orangtua itu. Jangan malah mengkondisikan orangtua untuk tergantung pada institusi sekolah. Jangan membiarkan orangtua lepas tangan, memasrahkan semua urusan pendidikan anak ke sekolah.
Kita juga perlu memikirkan perbaikan pendidikan bagi para calon pengasuh dan guru. Sebagai mitra pendidik keluarga, mereka harus betul-betul dikembangkan kualitas karakter dan kompetensinya. Sekolah calon guru harus merekrut hanya orang-orang dengan pribadi positif dan pemelajar. Masyarakat pun harus menghargai karya para guru tinggi-tinggi.
=========
Tulisan ini disadur dari “Plutarch on the Education of Children” oleh FH Colson dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891 suntingan Charlotte Mason.
Sumber Foto: Education in Ancient Roman (Crystalinks)
no replies