Jiwa seni dalam diri anak bisa dikembangkan sejak ia bayi. Berilah anak pengalaman tentang keindahan mulai dari tempat ia paling sering berada – di mana lagi kalau bukan kamarnya dan ruangan-ruangan rumah lain tempat ia paling sering berada?
Tatalah seluruh rumah, terutama kamar anak, secara indah dan harmonis. Fondasinya adalah kebersihan dan kerapian. Pastikan semua kategori barang ada tempatnya sendiri-sendiri, dan latih anak selalu mengembalikan barang yang ia sudah pakai ke masing-masing tempat itu.
Korden dan perabot tak perlu baru, tapi terawat. Buku-buku anak dijejer teratur, entah menurut kategori ukuran, warna, atau topik, jangan asal-asalan ditumpuk atau didesakkan. Semua ini mengasah kepekaan anak pada keindahan.
***
Jiwa seni anak juga akan berkembang kalau hidupnya setiap hari dikelilingi karya-karya seni yang indah. Lukisan, patung, topeng, ukiran, semua pajangan yang anak lihat terus-menerus akan membentuk wawasan dan selera artistiknya.
Satu-dua lukisan saja, tapi bermutu. (Kalau tidak sanggup beli lukisan sungguhan, di masa sekarang ini, kita bisa mencari berkas resolusi tinggi di internet, lalu cetak sendiri pun jadilah.) Sesuaikan saja dengan kemampuan finansial kita masing-masing.
Selain menyediakan atmosfer artistik di rumah, secara berkala ajaklah anak mengunjungi galeri-galeri seni. Lewat pengalaman ini, anak mendapat edukasi tentang berbagai aliran dan ragam ekspresi seni. Secara tidak langsung ia mendapat ilham dan rujukan untuk nanti membuat karya-karyanya sendiri.
***
Satu lagi yang penting untuk memupuk jiwa seni anak: ilustrasi yang menawan dalam buku-buku cerita! Orangtua perlu sangat selektif memilih buku-buku yang diberikan ke anak usia dini.
Cinta pertama anak pada seni lukis sering jatuh pada ilustrasi buku yang ia sukai. Lebih baik anak punya sedikit buku tapi bagus, daripada banyak buku yang kualitas penggarapannya asal-asalan.
Penerbit buku anak seyogyanya memilih ilustrator yang mumpuni, yang bukan cuma bisa menggambar tapi memadai pengetahuan keseniannya, mulai dari soal komposisi, cara memadukan warna, dan detil artistik lainnya. Jelas bahwa para penerbit punya peran besar mendidik selera seni publik.
***
Jiwa seni sebetulnya ada secara alamiah pada setiap anak. Jarang ada anak yang tidak punya hasrat untuk mencorat-coret kertas, buku, atau dinding. Anak sudah siap belajar menggambar bersamaan dengan ia belajar menulis. Persoalannya: bagaimana orangtua menanggapi ekspresi seni anak itu?
Sering terjadi orangtua menyepelekan, atau malah memarahi, corat-coret anak. Alhasil, hasrat menggambar anak bisa surut dan hilang sama sekali. Setelah ia lebih besar, barangkali ia kembali ingin menggambar, tapi upayanya akan lebih sulit dibanding jika fondasi keterampilan menggambarnya telah dipupuk dan disalurkan sejak dini.
NB: Tolong ingat, memupuk atau menyemangati bukan berarti memuji-muji gambar anak secara berlebihan.
***
Sebagian orangtua lain lebih perhatian dan proaktif memfasilitasi minat menggambar anak. Ayah-ibu awam biasanya akan segera mencari kursus menggambar. Nah, di sini pun mereka perlu berhati-hati sekali.
Jadilah orangtua yang terinformasi, jangan asal-asalan memilih tempat kursus menggambar, sebab kalau gurunya tidak paham seni, anak-anak yang ia ajari malah jadi rusak persepsinya.
Beberapa maestro punya pengalaman yang sama: mereka merasa lebih mudah mengajar para bocah miskin yang sama sekali tidak pernah les menggambar dibanding murid-murid yang jebolan aneka kursus. Daya observasi para bocah miskin itu lebih tajam dan jujur, mereka menarik garis tanpa ragu, jarang sekali butuh penghapus. Karya mereka lebih “nyeni” dibanding karya anak sekolahan yang klise.
***
Orangtua mengirim anak-anak usia 7 tahun ke bawah ikut kursus gambar dengan harapan mereka menjadi pelukis ulung. Sayangnya, cita-cita mulia itu tidak kesampaian. Mereka tidak jadi makin ahli menggambar, apalagi terilhami untuk mengabdikan hidup di dunia lukis. Apa sebabnya? Karena sistem latihan di tempat les hanya bagus menurut guru, tapi gagal membangkitkan minat anak.
Misalnya, apel atau cangkir teh ditaruh di depan anak, lalu ia disuruh menirukan objek itu di kertas gambar. Jari-jemari anak sampai kaku, otaknya kelelahan, tegang dengan kewajiban gambarnya harus “memenuhi standar”. Mungkin sekali dalam hati anak bingung, “Untuk apa sih melakukan semua ini?” Dan orangtua kesal karena anak tidak tampak antusias berangkat les (yang sudah dibayar mahal).
***
Prinsip dasar pendidikan seni adalah: buat anak tertarik pada seni! Jadi sebetulnya, fokus pelajaran seni jangan langsung ke latihan teknik-teknik yang canggih.
Beri saja anak setumpuk kertas bekas serta pensil atau potongan arang. Biarkan dia corat-coret wujud apa saja yang dia minati. Tak terbilang sukacita anak ketika bisa membuat garis-garis yang (menurut dia ya, bukan menurut kita) mirip dengan objek yang dia maksudkan. Dia sedang membangun kesadaran tentang bentuk-bentuk di sekelilingnya.
Selain tentang bentuk, anak juga butuh mengembangkan kesadaran tentang warna. Semua anak suka warna-warni. Mereka pasti kesenangan kalau diberi sekotak cat dan dibiarkan bebas mewarnai gambarnya di kertas.
Kita tidak usah protes mengapa anak mewarnai matahari ungu, atau ikannya merah jambu. Tak penting apakah pewarnaannya keluar garis atau tidak. Anak itu sedang mengumpulkan pengalaman tentang warna-warni di dunia ini – biarkanlah ia menikmatinya.
NB: Jangan bolehkan anak mencorat-coret buku bacaan. Sejak dini anak harus diajari memegang buku dengan penuh respek.
***
Banyak orangtua tidak paham bahwa fondasi keterampilan seni rupa adalah akurasi pengamatan. Oleh karena itu, belajar menggambar tidak semata berurusan dengan pensil dan kertas. Anak harus dilatih mengamati cermat sampai bisa paham tentang esensi dari bentuk-bentuk di sekelilingnya.
Ada banyak cara melatih relasi anak dengan bentuk. Misalnya, beri dia gunting dan kertas kosong, terserah dia mau menggunting-gunting bentuk apa sesuai imajinasinya. Atau, beri dia plastisin (playdough) untuk membuat berbagai benda imajiner. Kegiatan membengkak-bengkokkan kawat (bent-iron works) juga menyenangkan. Ragam eksplorasi membuat rupa (modelling) ini seharusnya diperkenalkan ke semua anak.
***
Tidak semua anak kelak akan menekuni profesi seni. Lalu apakah berarti percuma kita keluar energi, waktu, dan biaya untuk pendidikan seninya kalau si anak tidak berhasil jadi seniman “berprestasi”? Itu sudut pandang yang sangat keliru.
Maksud dari pendidikan seni adalah agar setiap anak punya kepekaan akan keindahan yang teredukasi. Makin tambah umur makin peka dia bahwa dunia yang dia huni ini sungguh indah. Atmosfer artistik dan budaya berkesenian itu akan menghaluskan karakter anak-anak, yang kelak akan jadi pribadi-pribadi dewasa penentu masa depan bangsa kita.
=========
Tulisan ini disadur dari artikel “Art Training in the Nursery” yang ditulis oleh EP Steinthal dan disunting oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 1890/1891.
Sumber Foto: Statens Museum for Kunst
no replies