KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
November 19, 2012  |  By Ellen K In Pengasuhan
Bagaimana Jika Kelak Anak Menyesal Jadi Homeschooler?
Tepatkah memilih untuk tidak menyekolahkan anak? (Dok. MSP)
Tepatkah memilih untuk tidak menyekolahkan anak? (Dok. MSP)
Post Views: 252

Beberapa waktu lalu, ada seorang anggota Komunitas Charlotte Mason Indonesia yang meminta masukan dari teman-teman sesama anggota bagaimana menghadapi tekanan dari lingkungan yang menentang pilihannya menjadi praktisi pendidikan rumah (homeschooler).

Salah satu poin yang diangkat oleh keluarga dekat itu adalah: “Saya tahu persis, kamu tuh orangtua yang idealis banget. Hati-hati, jangan terjebak dalam idealisme, namun secara tidak sadar kamu jadi mengorbankan anak-anak demi ego atau idealisme kamu yang kamu pikir benar padahal belum tentu.”

Membaca tudingan itu, saya jadi teringat pada pergulatan saya sebelumnya dengan pertanyaan serupa: “Bagaimana jika kelak anak-anak saya menyesal bahwa mereka dibesarkan sebagai homeschoolers, bukan sekolah formal seperti anak-anak yang lain? Apakah mereka tidak akan menyalahkan saya sebagai orangtua, karena memilihkan sesuatu yang mereka anggap keliru bagi mereka?”

Konsekuensi Menjadi Inisiator

Keputusan menjadi homeschooler memang bisa berasal dari beragam alasan, yang intinya bermuara pada dua sumber: inisiatif orangtua atau inisiatif anak. Kalau keputusan berangkat dari gabungan inisiatif dari kedua belah pihak – orangtua dan anak – itu akan sangat ideal, namun yang sering terjadi adalah inisiatif datang dari salah satu pihak. Apabila inisiatif datang dari orangtua, berarti anak yang harus menyesuaikan diri. Di sisi lain, apabila inisiatif datang dari anak, berarti orangtua yang harus menyesuaikan diri.

Menjadi pihak yang harus menyesuaikan diri menuntut adanya proses penyamaan persepsi, visi, dan misi. Sementara itu, menjadi pihak yang berinisiatif berarti dituntut untuk bisa ‘meyakinkan’ pihak lainnya bahwa pilihan ini memang baik. Jadi, kalau keinginan homeschooling datang dari orangtua, maka orangtua perlu membuat anak merasa mantap bahwa pilihan ini memang tepat untuknya, sehingga ia menjalaninya dengan sukarela, senang, menikmati, bahkan ikut membela dan memperjuangkan. Dan sebaliknya. Kalau ada anak yang ingin homeschooling tapi orangtua masih ragu, dia perlu berupaya agar orangtuanya ikut mendukung pilihan itu sepenuh hati mereka.

Dalam kasus saya sendiri, setelah berdiskusi dan studi mendalam tentang apa itu pendidikan rumah, saya dan suami memutuskan akan mendidik anak-anak kami di jalur informal ini ketika anak sulung saya berusia 1,5 tahun. Jelas sekali bahwa inisiatif datang dari kami, bukan anak. Itu sebabnya dari sejak putusan menjadi homeschoolerditetapkan, kami musti berupaya keras untuk menunjukkan kepada anak bahwa putusan itu memang tidak keliru baginya.

Sejauh ini, semua berjalan baik-baik saja.  Dengan metode Charlotte Mason, saya dan suami melihat bahwa perkembangan intelektual dan karakter anak-anak kami “tidak kalah” dibandingkan anak-anak sebayanya yang sekolah formal. Boleh dibilang, soal akademis terus terang sama sekali tidak menjadi kekuatiran bagi kami.

Kami dapati sekali lagi Charlotte Mason benar, setiap anak pada dasarnya punya hasrat luar biasa akan pengetahuan. Rasa ingin tahu, kreativitas, kejelian mengamati dan ketajaman berpikir, semuanya kami dapati melimpah-limpah dalam diri anak-anak kami. Yang paling sulit tetaplah memfasilitasi perkembangan akhlak mereka, karena itu berarti sekaligus kewajiban introspeksi dan perbaikan diri kami sendiri sebagai orangtua – sebagai atmosfer nilai-nilai yang mereka hirup setiap hari, jam, detik …

Tapi, Salahkah Membuat Pilihan untuk Anak?

Ya, itu pertanyaan mendasarnya. Saya masih terbeban dengan kesadaran bahwa anak-anak kami menjadi homeschooler berawal dari keputusan orangtua, bukan inisiatif mereka. Anak sekedar mengikuti. Dan sebagai orang yang meyakini pilihan homeschooling, saya tidak yakin saya bisa betul-betul netral ketika menjelaskan kepada anak baik-buruk homeschooling dibandingkan baik-buruk sekolah formal. Ketika Anda mantap memilih jodoh, Anda tidak bisa sepenuhnya berimbang dan objektif saat membandingkan pasangan Anda dengan pria atau wanita lain, bukan?

Di sinilah saya berefleksi tentang keterkondisian manusia, dalam hal ini anak. Sejak lahir secara otomatis ia akan dikelilingi oleh nilai-nilai yang orangtua dan lingkungannya pilih untuk anut. Mungkin orangtuanya meyakini homeschooling, maka ia akan jadi homeschooler. Atau sebaliknya, orangtuanya meyakini sistem sekolah formal, maka dia dikirimkan ke sekolah formal. Mungkin orangtuanya beragama X, maka ia dibesarkan menjadi pemeluk agama X. Atau orangtuanya ateis atau agnostik, maka ia dibesarkan tanpa afiliasi agama.

Apakah ada pilihan yang lebih benar dari yang lain, lebih buruk dari yang lain? Itu sangat bisa diperdebatkan dan – sekali lagi – kita tidak bisa bersikap netral ketika berbicara tentang yang kita yakini versus yang tidak kita yakini.

Lantas benak saya merefleksikan kodrat anak sebagai pribadi, perpaduan antara naturedan nurture. Dari aspek nurture, anak itu terkondisi – dia tidak bisa memilih orangtuanya dan dalam lingkungan nilai macam apa dia dibesarkan. Tapi dari aspek nature, dia tetaplah makhluk yang punya kehendak bebas. Charlotte Mason mengistilahkannya sebagai the way of the will. Sebagai manusia, dia punya kemampuan untuk menyadari keterkondisiannya dan untuk melepaskan diri dari keterkondisian itu.

Tiba-tiba terlintas pikiran demikian di benak saya, “Kalau suatu hari nanti anakku tersadar lalu berkata dalam hatinya, ‘Mama salah karena sudah membesarkan aku jadi homeschooler, seharusnya aku dulu masuk sekolah formal!’ maka itu sama sekali bukan situasi yang harus diratapi, namun justru harus dirayakan. “Akhirnya! Akhirnya anakku punya kemandirian berpikir, melepaskan diri dari bayang-bayang nilai orangtuanya!” Itulah yang akan saya sorakkan.

Antara Wewenang dan Kebebasan

Saat ini kita sebagai orangtua berusaha menawarkan kepada anak segala sesuatu yang kita yakini sebagai yang terbaik bagi kehidupannya. Kita berupaya membesarkannya dalam agama, metode pendidikan, gaya hidup, tradisi diet, dan lain-lain yang “ter …” menurut kita.

Menurut saya, itu bukan karena kita sok berkuasa. Memang itulah amanah menjadi orangtua! Kita harus memberi arahan pada anak agar bisa hidup sebaik-baiknya, berguna di hadapan Tuhan, masyarakat, dan dunia. Jadi, membuatkan pilihan bagi anak-anak semasa mereka muda usia adalah amanah yang berat pertanggungjawabannya, tapi tak terhindarkan.

Apakah ada jaminan bahwa anak akan selamanya puas dengan putusan-putusan dan pilihan-pilihan kita itu? Mungkinkah yang dibesarkan sebagai homeschooler protes, kenapa dulu dia tidak disekolahkan? Atau, sebaliknya, yang dimasukkan ke sekolah protes kenapa dulu dia tidak di-homeschool saja? Mungkinkah yang dididik dalam agama X malah pindah ke agama Y? Atau, yang dari agama Y pindah ke agama X? Dan berbagai kemungkinan protes lainnya?

Tidak ada jaminan pilihan orangtua selalu benar, sebab kita bukan Tuhan Yang Mahatahu. Penyesalan dan protes dari anak selalu mungkin muncul.

Hanya satu yang kita tahu: manusia itu tempatnya salah dan justru dari kesalahan itu kita belajar. Dari kesalahan bisa timbul hal-hal yang baik pula. Kalaupun kita – sekalipun telah berusaha memilih sebaik-baiknya –  ternyata tetap salah membuatkan pilihan untuk anak semasa ia kecil, apabila hal itu membangkitkan kesadaran anak tentang apa yang lebih baik bagi hidupnya, bukankah itu juga baik?

Saya pikir, kalau anak saya suatu saat mengekspresikan ketidaksetujuan pada pilihan kami baginya dulu – entah itu homeschooling atau apa pun – atau berbalik memilih sesuatu yang berbeda dari pilihan nilai kami orangtuanya, itu adalah pertanda dia telah mencapai satu tingkat lebih tinggi dalam hal kemandirian berpikir. Tinggal kita sebagai orangtua belajar untuk senantiasa bersikap terbuka, mau berdiskusi, dan merayakan pilihan-pilihan mandiri anak atas kehidupannya

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryTerjalinkah Relasi Anak dengan Bukunya?
Next StoryKencan Bermain a la CM

Related Articles

  • ular naga_736_420
    Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan?
    View Details
  • tumbang anak_736_420
    Menguatkan Fondasi Proses Belajar Anak Sejak Usia Dini
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Podcast #39: Melatih Kekuatan Kehendak Anak (Way of the Will) April 11, 2021
  • Podcast #38: Ngobrol dengan Bandung Mawardi: Sastra, Buku, dan Menulis March 28, 2021
  • Podcast #37: Memulai Pendidikan CM Saat Anak Sudah Remaja March 14, 2021
  • Podcast #36: Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 167 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 143 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Podcast #39: Melatih Kekuatan Kehendak Anak (Way of the Will) 71 views | 0 comments | by admin | posted on April 11, 2021
  • Kurikulum dan Keseharian Homeschooling ala Metode Charlotte Mason 42 views | 0 comments | by Ayu P | posted on April 28, 2020
  • Mitos Gaya Belajar dan Salah Kaprah Kecerdasan Majemuk 39 views | 0 comments | by Ellen K | posted on March 14, 2019

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 330

Yesterday: 492

This Week: 5232

This Month: 31066

Total: 271193

Currently Online: 89

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.