Beberapa waktu lalu, ada seorang anggota Komunitas Charlotte Mason Indonesia yang meminta masukan dari teman-teman sesama anggota bagaimana menghadapi tekanan dari lingkungan yang menentang pilihannya menjadi praktisi pendidikan rumah (homeschooler).
Salah satu poin yang diangkat oleh keluarga dekat itu adalah: “Saya tahu persis, kamu tuh orangtua yang idealis banget. Hati-hati, jangan terjebak dalam idealisme, namun secara tidak sadar kamu jadi mengorbankan anak-anak demi ego atau idealisme kamu yang kamu pikir benar padahal belum tentu.”
Membaca tudingan itu, saya jadi teringat pada pergulatan saya sebelumnya dengan pertanyaan serupa: “Bagaimana jika kelak anak-anak saya menyesal bahwa mereka dibesarkan sebagai homeschoolers, bukan sekolah formal seperti anak-anak yang lain? Apakah mereka tidak akan menyalahkan saya sebagai orangtua, karena memilihkan sesuatu yang mereka anggap keliru bagi mereka?”
Konsekuensi Menjadi Inisiator
Keputusan menjadi homeschooler memang bisa berasal dari beragam alasan, yang intinya bermuara pada dua sumber: inisiatif orangtua atau inisiatif anak. Kalau keputusan berangkat dari gabungan inisiatif dari kedua belah pihak – orangtua dan anak – itu akan sangat ideal, namun yang sering terjadi adalah inisiatif datang dari salah satu pihak. Apabila inisiatif datang dari orangtua, berarti anak yang harus menyesuaikan diri. Di sisi lain, apabila inisiatif datang dari anak, berarti orangtua yang harus menyesuaikan diri.
Menjadi pihak yang harus menyesuaikan diri menuntut adanya proses penyamaan persepsi, visi, dan misi. Sementara itu, menjadi pihak yang berinisiatif berarti dituntut untuk bisa ‘meyakinkan’ pihak lainnya bahwa pilihan ini memang baik. Jadi, kalau keinginan homeschooling datang dari orangtua, maka orangtua perlu membuat anak merasa mantap bahwa pilihan ini memang tepat untuknya, sehingga ia menjalaninya dengan sukarela, senang, menikmati, bahkan ikut membela dan memperjuangkan. Dan sebaliknya. Kalau ada anak yang ingin homeschooling tapi orangtua masih ragu, dia perlu berupaya agar orangtuanya ikut mendukung pilihan itu sepenuh hati mereka.
Dalam kasus saya sendiri, setelah berdiskusi dan studi mendalam tentang apa itu pendidikan rumah, saya dan suami memutuskan akan mendidik anak-anak kami di jalur informal ini ketika anak sulung saya berusia 1,5 tahun. Jelas sekali bahwa inisiatif datang dari kami, bukan anak. Itu sebabnya dari sejak putusan menjadi homeschoolerditetapkan, kami musti berupaya keras untuk menunjukkan kepada anak bahwa putusan itu memang tidak keliru baginya.
Sejauh ini, semua berjalan baik-baik saja. Dengan metode Charlotte Mason, saya dan suami melihat bahwa perkembangan intelektual dan karakter anak-anak kami “tidak kalah” dibandingkan anak-anak sebayanya yang sekolah formal. Boleh dibilang, soal akademis terus terang sama sekali tidak menjadi kekuatiran bagi kami.
Kami dapati sekali lagi Charlotte Mason benar, setiap anak pada dasarnya punya hasrat luar biasa akan pengetahuan. Rasa ingin tahu, kreativitas, kejelian mengamati dan ketajaman berpikir, semuanya kami dapati melimpah-limpah dalam diri anak-anak kami. Yang paling sulit tetaplah memfasilitasi perkembangan akhlak mereka, karena itu berarti sekaligus kewajiban introspeksi dan perbaikan diri kami sendiri sebagai orangtua – sebagai atmosfer nilai-nilai yang mereka hirup setiap hari, jam, detik …
Tapi, Salahkah Membuat Pilihan untuk Anak?
Ya, itu pertanyaan mendasarnya. Saya masih terbeban dengan kesadaran bahwa anak-anak kami menjadi homeschooler berawal dari keputusan orangtua, bukan inisiatif mereka. Anak sekedar mengikuti. Dan sebagai orang yang meyakini pilihan homeschooling, saya tidak yakin saya bisa betul-betul netral ketika menjelaskan kepada anak baik-buruk homeschooling dibandingkan baik-buruk sekolah formal. Ketika Anda mantap memilih jodoh, Anda tidak bisa sepenuhnya berimbang dan objektif saat membandingkan pasangan Anda dengan pria atau wanita lain, bukan?
Di sinilah saya berefleksi tentang keterkondisian manusia, dalam hal ini anak. Sejak lahir secara otomatis ia akan dikelilingi oleh nilai-nilai yang orangtua dan lingkungannya pilih untuk anut. Mungkin orangtuanya meyakini homeschooling, maka ia akan jadi homeschooler. Atau sebaliknya, orangtuanya meyakini sistem sekolah formal, maka dia dikirimkan ke sekolah formal. Mungkin orangtuanya beragama X, maka ia dibesarkan menjadi pemeluk agama X. Atau orangtuanya ateis atau agnostik, maka ia dibesarkan tanpa afiliasi agama.
Apakah ada pilihan yang lebih benar dari yang lain, lebih buruk dari yang lain? Itu sangat bisa diperdebatkan dan – sekali lagi – kita tidak bisa bersikap netral ketika berbicara tentang yang kita yakini versus yang tidak kita yakini.
Lantas benak saya merefleksikan kodrat anak sebagai pribadi, perpaduan antara naturedan nurture. Dari aspek nurture, anak itu terkondisi – dia tidak bisa memilih orangtuanya dan dalam lingkungan nilai macam apa dia dibesarkan. Tapi dari aspek nature, dia tetaplah makhluk yang punya kehendak bebas. Charlotte Mason mengistilahkannya sebagai the way of the will. Sebagai manusia, dia punya kemampuan untuk menyadari keterkondisiannya dan untuk melepaskan diri dari keterkondisian itu.
Tiba-tiba terlintas pikiran demikian di benak saya, “Kalau suatu hari nanti anakku tersadar lalu berkata dalam hatinya, ‘Mama salah karena sudah membesarkan aku jadi homeschooler, seharusnya aku dulu masuk sekolah formal!’ maka itu sama sekali bukan situasi yang harus diratapi, namun justru harus dirayakan. “Akhirnya! Akhirnya anakku punya kemandirian berpikir, melepaskan diri dari bayang-bayang nilai orangtuanya!” Itulah yang akan saya sorakkan.
Antara Wewenang dan Kebebasan
Saat ini kita sebagai orangtua berusaha menawarkan kepada anak segala sesuatu yang kita yakini sebagai yang terbaik bagi kehidupannya. Kita berupaya membesarkannya dalam agama, metode pendidikan, gaya hidup, tradisi diet, dan lain-lain yang “ter …” menurut kita.
Menurut saya, itu bukan karena kita sok berkuasa. Memang itulah amanah menjadi orangtua! Kita harus memberi arahan pada anak agar bisa hidup sebaik-baiknya, berguna di hadapan Tuhan, masyarakat, dan dunia. Jadi, membuatkan pilihan bagi anak-anak semasa mereka muda usia adalah amanah yang berat pertanggungjawabannya, tapi tak terhindarkan.
Apakah ada jaminan bahwa anak akan selamanya puas dengan putusan-putusan dan pilihan-pilihan kita itu? Mungkinkah yang dibesarkan sebagai homeschooler protes, kenapa dulu dia tidak disekolahkan? Atau, sebaliknya, yang dimasukkan ke sekolah protes kenapa dulu dia tidak di-homeschool saja? Mungkinkah yang dididik dalam agama X malah pindah ke agama Y? Atau, yang dari agama Y pindah ke agama X? Dan berbagai kemungkinan protes lainnya?
Tidak ada jaminan pilihan orangtua selalu benar, sebab kita bukan Tuhan Yang Mahatahu. Penyesalan dan protes dari anak selalu mungkin muncul.
Hanya satu yang kita tahu: manusia itu tempatnya salah dan justru dari kesalahan itu kita belajar. Dari kesalahan bisa timbul hal-hal yang baik pula. Kalaupun kita – sekalipun telah berusaha memilih sebaik-baiknya – ternyata tetap salah membuatkan pilihan untuk anak semasa ia kecil, apabila hal itu membangkitkan kesadaran anak tentang apa yang lebih baik bagi hidupnya, bukankah itu juga baik?
Saya pikir, kalau anak saya suatu saat mengekspresikan ketidaksetujuan pada pilihan kami baginya dulu – entah itu homeschooling atau apa pun – atau berbalik memilih sesuatu yang berbeda dari pilihan nilai kami orangtuanya, itu adalah pertanda dia telah mencapai satu tingkat lebih tinggi dalam hal kemandirian berpikir. Tinggal kita sebagai orangtua belajar untuk senantiasa bersikap terbuka, mau berdiskusi, dan merayakan pilihan-pilihan mandiri anak atas kehidupannya
no replies