Tanya:
Halo, Mbak Ellen, mau tahu dong, bagaimana menjalani keseharian homeschooling, tapi masih bisa produktif menulis? Waktu acara di Yogya, kami lihat Mbak bisa jadi moderator dengan tetap momong anak tanpa terlihat terganggu. Bagaimana manajemen stresnya sebagai ibu?
Jawab:
Halo juga! Soal manajemen waktu, saya pikir prinsipnya sederhana saja. Segala kegiatan yang kita anggap prioritas tertinggi, ya harus disempatkan untuk dikerjakan. Saya menyempat-nyempatkan diri menulis, karena buat saya menulis itu penting. Saya mengorbankan sebagian waktu tidur, sebagian waktu beres-beres rumah, bahkan sebagian waktu mendampingi anak, supaya bisa menulis.
Kita semua hanya punya waktu 24 jam dalam sehari. Kalau kita menghabiskannya untuk satu kegiatan, berarti kita mengurangi jatah waktu kegiatan lain. Jadi, sebaiknya kita jernih soal pertanyaan mendasar ini: “Apa yang paling penting untuk kita garap dan bagaimana cara terbaik menggarapnya?”.
Saya merasa hari saya efektif jika bekerja dalam blok-blok waktu. Subuh untuk waktu refleksi pribadi saya. Pagi sampai jam makan siang untuk rutinitas harian keluarga dan mendampingi “kelas” dua anak pertama. Dari jam makan siang sampai maghrib, saya bekerja di kantor. Usai maghrib, saya kembali mengurusi anak-anak.
Satu faktor penting agar hari-hari mulus dan menyenangkan bagi ibu homeschooleradalah sistem pendukung. Saya sangat terbantu karena suami sepenuhnya kompak soal visi hidup dan soal berbagi tugas mendampingi anak. Kalau agenda saya sedang sangat padat deadline, suami menggantikan saya sebagai fasilitator kelas buat anak-anak.
Adanya pengasuh si kecil yang juga bantu beres-beres rumah jelas meringankan. Tinggal dekat dengan keluarga besar membuat saya bisa tenang bekerja karena yakin anak-anak punya teman dan ada di lingkungan yang aman. Tanpa mereka semua, waktu menulis saya pasti nyaris tak ada.
Sumber daya ibu yang satu dengan ibu lainnya tidak sama. Kita mesti berdamai dengan keadaan, sembari terus menjernihkan Visi yang ingin kita wujudkan. Apa panggilan tertinggi hidup ini? Pandang terus ke ideal itu, sembari menata jadwal kegiatan yang paling realistis sesuai kondisi keluarga masing-masing.
Perasaan burnout saat pekerjaan menumpuk dan rasa-rasanya semua genting, anggaplah itu alarm yang menyuruh kita duduk dan merenung: sebetulnya ini semua untuk apa sih? Kita para ibu ini jangan terus mengelinding saja. Mari secara berkala melakukan introspeksi.
Hidup bukan hanya soal efisiensi, tapi juga efektivitas; bukan hanya menyelesaikan sebanyak mungkin to do list, tapi memastikan to do list itu bermakna; bukan hanya jungkir balik menjadi ibu homeschooler sekaligus bekerja sekaligus ini dan itu, tetapi lebih dulu memeriksa mengapa mau jadi homeschooler, mengapa harus berkarir, mengapa harus ini dan itu.
Sekarang tentang membawa-bawa anak berkegiatan dan tidak terlihat terganggu. Menurut saya, kita harus mengakui dulu satu fakta paling mendasar: anak memang tidak berniat menjadi pengganggu. Dia hanya masih kecil, itu saja. Jadi kitalah yang aneh kalau menuntut dia berperilaku seperti orang dewasa.
Seneca sang filsuf pernah berkata: orang tak akan stres jika siap menghadapi kemungkinan terburuk. Saat mengajak anak ikut berkegiatan, entah itu mengajar, jadi moderator, atau yang lainnya, saya sudah mengantisipasi kemungkinan perilakunya. Saya yang mengajak dia, jadi saya bertanggung jawab untuk memastikan dia bisa merasa nyaman sepanjang acara berlangsung.
Sebelum berangkat, saya selalu perkirakan dulu kemampuan dia menikmati kegiatan itu, dan kemampuan saya menangani kemungkinan perilakunya – yang “terburuk”. [Sebetulnya, dibanding “buruk”, lebih tepat jika dibilang perilaku anak itu jujur. Kalau bosan, dia akan berusaha cari kegiatan, bukan pura-pura tertarik. Kalau ngantuk, dia akan tidur, bukan pura-pura menyimak. Kalau marah, dia akan menangis, bukan pura-pura tersenyum.]
Ketika anak saya masih bayi, saya merasa sanggup membawanya sendiri mengajar di depan kelas 2 jam nonstop, karena dia masih tidur belasan jam sehari. Modalnya cuma selendang dan baju menyusui.
Setelah dia jadi batita, saya harus antisipasi membawa mainan atau mengajak pengasuh, atau mengambil peran yang tak terlalu sentral dalam acara. Kalau tidak bawa pengasuh, sebelum berangkat saya sudah siapkan mental untuk ngider mengikuti polahnya. Namanya juga balita, kalau diam terus malah nggak wajar, kan?
Untuk acara yang sangat penting, saya harus fokus penuh, dan durasinya panjang, saya akan atur untuk tidak membawa balita saya. Jangan sampai nanti kami berdua sama-sama susah. Konsentrasi saya kacau, audiens acara terganggu, anak saya pun rewel. Semua merugi.
Petakan dulu medan perangnya, baru kita tentukan strateginya.
Salam hangat,
Ellen Kristi
no replies