Halo, ayah-ibu, terutama yang tinggal di kota-kota, adakah di antara kalian yang bingung memikirkan mengapa anak-anak kalian malas bergerak dan gampang sakit? Sudahkah memikirkan bahwa mungkin masalahnya ada pada cara hidup yang kalian ajarkan pada mereka?
Di kota keluarga-keluarga sibuk memikirkan makanan, minuman, dan pakaian anak. Sekolah-sekolah berlomba menyibukkan anak dengan pelajaran akademis. Sungguh sayang, banyak yang lalai memikirkan kecukupan pasokan udara segar, syarat kehidupan nomor satu.
Ruangan yang ditutup empat dinding jelas akan membatas aliran udara segar, apalagi kalau ruangan tersebut menampung banyak orang sekaligus. Lalu mengapa kita buat anak-anak kita berjam-jam dalam sehari selama bertahun-tahun menjalani hidup dengan cara yang merampas vitalitas mereka seperti itu?
***
Bukan hanya ruang kelas yang sesak atau rumah yang sempit, kota yang terlalu padat adalah kendala bagi optimalnya kesehatan manusia, apalagi kalau udaranya penuh polusi. Kita akan lihat daya tahan tubuh warganya menurun, angka kematian meningkat.
Secara biologis, daya hidup manusia berbanding lurus dengan ketersediaan oksigen dalam darahnya. Dan agar bisa bertumbuh optimal, tubuh (terutama otak) anak-anak menuntut aliran darah bersih yang berlimpah oksigen.
Anak-anak butuh udara segar, banyak udara segar! Mereka mencarinya secara alamiah dengan banyak bergerak. Sentosalah anak-anak yang bisa menghirup banyak udara segar yang bersih! Sentosalah anak-anak yang dibiarkan berlari-lari, berteriak-teriak, dan bergerak bebas di luar ruangan, apalagi di alam terbuka, sesering mungkin!
***
Memang, demi kepentingan ekonomis-pragmatis, hewan dikurung di kandang dan tanaman dibesarkan di rumah kaca, hidup dalam situasi kondisi artifisial. Dampaknya: mereka tampak gemuk dan bagus, tapi daya tahan mereka lemah.
Pandanglah suku-suku yang kesehariannya banyak di alam terbuka – tidakkah mereka hidup lebih penuh sukacita, lebih damai-bersahaja, secara jasmani lebih tangguh dibanding kita yang hidupnya habis dalam ruangan?
Kalau warga dari negeri-negeri bercuaca ekstrem – mulai dari bersalju membeku sampai panas menyengat – bisa menemukan cara untuk aktif berkegiatan di alam, apalagi warga dari negeri-negeri yang cuacanya ramah, matahari bersinar sepanjang tahun.
***
Banyak orang kota keliru: sibuk mendekorasi rumah, melengkapi dengan perabot ini itu agar makin nyaman, lalu mereka terlalu nyaman berada di dalam rumah, dan enggan keluar dari dalamnya. Demikianlah peradaban kita makin lama makin terasing dari alam, sumber vitalitas yang tiada habisnya.
Kemudian ketika ditanya, apakah anak-anakmu berkegiatan di luar ruangan atau di alam terbuka, si orang kota menjawab: “Oh ya, setiap hari mereka ada jadwal berjalan-jalan, sekitar satu jam, asal cuacanya bersahabat.”
Jawaban ini tak ubahnya seperti kita ditanya, “Kulihat wajah anakmu pucat, apakah dia cukup sarapan?” Dan kita menjawab, “Oh tentu, setiap pagi saya beri dia beberapa butir suplemen.”
Anak-anak tidak akan bertumbuh kembang optimal kalau makanannya hanya pil-pil vitamin. Begitu pula mereka tidak akan bertumbuh kembang optimal kalau bermain dan berkegiatan di luar ruangannya cuma dijatah sejam sehari kalau cuaca bersahabat, sekadar demi menggugurkan jadwal.
***
Tidak hanya tubuh mereka yang butuh, akalbudi mereka juga sangat mendamba berkegiatan leluasa di alam terbuka. Ide-ide terpantik dengan limpah saat mereka menjelajah. Tidak ada “kurikulum” yang lebih cocok untuk anak usia prasekolah selain berjalan-jalan, mengamati dan berelasi dengan alam sekitarnya.
Orangtua sangat perlu belajar memfasilitasi anak-anak berkegiatan di alam. Pasok diri dengan informasi dan keterampilan teknis untuk membantu anak-anak kita makin bisa menikmati “wajah bumi” dan “wajah langit”, mulai dari menamai bunga liar sampai memetakan bintang.
Alangkah sehatnya anak-anak dari para ayah-ibu yang bersemangat naturalis, yang betah seharian menemani bocah-bocah itu menjelajah alam, yang tak kalah antusias mengamati dan mengobrolkan apa pun objek alam di sekeliling mereka!
***
Bisa jadi karena ketidaktahuan orangtua, anak terlanjur terbiasa mendekam dalam ruangan lalu enggan pergi ke alam. Ingatlah, tidak suka bukan berarti tidak butuh. Dampak “defisiensi alam” tetap akan terlihat, entah pada kesehatan fisik atau mental anak.
Banyak membaca itu bagus, tapi membaca terus di kamar itu tidak bagus. Mengalami objek alam, mengamati langsung wujud dan perilakunya di habitatnya, tak akan tergantikan oleh bacaan apa pun.
Membaca tulisan tentang alam itu bagus. Buku-buku karya para pecinta alam sangat mencerahkan dan menggugah. Namun, semua itu tetaplah sebatas bacaan, yang bisa jadi penunjang tapi bukan penukar kehadiran di alam. Kalau sampai gara-gara membaca karya para pecinta alam itu kita jadi jarang keluar rumah menyambangi alam, berarti kita justru makin jauh dari misi mereka menuliskannya.
***
Ketika anak sudah punya relasi erat dengan alam, ia akan sama senangnya menjelajah entah saat matahari terang atau hari hujan. Anak seperti ini sama sekali tak bergantung pada hiburan artifisial lagi untuk menjadi puas.
Dan bagaikan sahabat yang berpengaruh, alam akan menularkan sifat-sifatnya pada anak. Anak menjadi kuat, penuh daya hidup, sekaligus tenang dan peka. Keindahan yang paling samar sekalipun, ia bisa mengapresiasinya. Pesan-pesan alam yang tersembunyi, ia bisa membacanya; ia tahu kapan alam gembira atau berduka.
***
Mengapa topik relasi anak dengan alam harus dibicarakan sepanjang lebar ini? Bagi orang-orang zaman sekarang yang pragmatis, rasanya banyak sekali urusan lain yang lebih penting dibanding mengajak anak ke alam.
Namun justru karena itulah kita perlu membahasnya secara serius sebab anak kita tak akan selamanya anak-anak. Sudah berapa tahun berlalu sejak anak kita lahir? Ini tahun keberapa hidupnya? Alam terus menanti di luar sana, dan “Maaf, kami sibuk!” selalu jadi alasan menunda-nunda.
=========
Tulisan ini disadur dari editorial oleh Charlotte Mason dalam The Parents’ Review Vol. 1 edisi Maret 1890.
Sumber Foto: istimewa
no replies