Terus terang saya suka merasa ngenes (sedih) saat memeriksa esai-esai mahasiswa di kampus. Topik yang kabur, logika yang tak urut, kalimat tak efektif, gagasan tak berkembang, kurangnya refleksi, sudut pandang klise, ejaan yang “jorok”, singkatan alay, sampai plagiarisme, hampir selalu saya temukan.
Dari seratus mahasiswa, barangkali hanya 2-3 orang saja yang punya kemampuan relatif mengesankan, sehingga saya menduga mereka yang rada istimewa itu bukan jadi istimewa karena hasil sistem pendidikan sebelumnya, tetapi karena bakat alamiah mereka sendiri. Dan bahkan yang punya bakat alamiah itu pun belum terasah dengan baik (padahal sudah dapat pelajaran Bahasa Indonesia dua belas tahun!).
Sebagai pecinta bahasa dan kegiatan menulis, saya rindu sekali anak-anak Indonesia punya kesempatan mengeluarkan “sang penulis” dari dalam diri mereka. Sebagai praktisi metode Charlotte Mason, saya percaya sebetulnya setiap anak mampu menjadi penulis handal, dengan gaya unik masing-masing, tanpa harus dibebani dengan setumpuk LKS dan hafalan aturan tata bahasa, nama-nama majas, dan lain-lain fakta kering tentang bahasa.
Bagaimana caranya? Blog Linda Fay, praktisi senior metode CM dan pengelola situs Charlotte Mason Help, memberi gambaran tahap demi tahap proses belajar membuat komposisi (karangan) yang dilalui anak-anaknya selama 12 tahun, sampai akhirnya mereka berhasil menjadi pribadi-pribadi yang suka dan mahir menulis. Khas metode CM, pendekatannya serba lembut (gentle), lambat-bertahap namun pasti dan bertujuan, selalu meletakkan fondasi yang benar dulu sebelum membangun sesuatu yang megah di atasnya.
Menurut Linda, anak-anak tidak perlu program khusus belajar menulis untuk menjadi penulis yang baik. Malah, program seperti itu kerap menghambat kemajuan mereka karena anak jadi berpikir menulis itu mekanis seperti matematika dan untuk jadi penulis hebat mereka cukup mengikuti formulanya. Program menulis juga bisa merampas kesenangan anak dalam bermain dengan kata-kata.
Menulis barangkali perlu kerja keras, tapi juga bisa dinikmati. Faktanya, menulis itu seni, bukan sains. Menulis memang perlu struktur, tapi itu bisa dipelajari dalam waktu yang tak terlalu lama. Yang sungguh-sungguh anak butuhkan untuk jadi penulis hebat adalah sejumlah besar bacaan berkualitas dan berjam-jam praktek menulis.
Linda meyakinkan kita dari pengalamannya dan pengalaman banyak orangtua praktisi lain, hanya dengan menerapkan metode Charlotte Mason secara murni, kita bisa membesarkan anak-anak yang mahir menulis.
Berikut kisah Bryana, salah satu anak Linda Fay, sebagai ilustrasi proses belajar menulis ala CM itu, saya terjemahkan dari artikel Linda di blognya, Higher Up and Further In. Isinya kurang lebih sama, kecuali sudut pandang penceritanya saya ubah dari orang pertama (saya) ke orang ketiga (dia/Linda).
Masa Pra Sekolah
Ketika Bryana masih sangat muda dan belum lagi bisa membaca, suami-istri Fay mulai mengumpulkan koleksi buku bergambar peraih penghargaan dan membacakan baginya keras-keras berulang kali. Mereka memilih tiap judul dengan teliti. Mereka tidak terlalu sering mencarikan buku baru karena prinsipnya, lebih baik sedikit buku tapi berkualitas dibanding banyak buku tapi picisan.
Sedikit demi sedikit, satu rak pun penuh dengan buku-buku pilihan yang dipakai selama bertahun-tahun. Kadang saat membacakan, Linda akan menunjuk pada kata-kata yang tertulis. Bryana cepat sekali paham bahwa tulisan itu bermakna dan menyenangkan.
Saat mengajari membaca, Linda berhati-hati agar tidak memadamkan kecintaan Bryana pada kata tertulis. Dia menghindari pelajaran membaca fonetik yang berlebihan serta waktu belajar yang kepanjangan. Bryana latihan membaca beberapa menit saja tiap hari. Saat anak itu terlihat mulai lelah, pelajaran membaca langsung dihentikan. Mengapa itu penting? Sebab seorang penulis yang baik harus mencintai kata-kata.
Charlotte Mason selalu menganjurkan untuk sejak awal memilih materi belajar membaca yang indah dan bermakna. Jika sejak semula kita memperkenalkan kata-kata secara menyenangkan, maka kemungkinan penolakan anak terhadapnya di masa depan berkurang. Latihan membaca harusnya asyik. Kalau tidak, ada sesuatu yang keliru. Jangan terlalu tegang saat mengajari anak membaca. Rilekslah dan nikmati prosesnya bersama-sama.
Masa Awal Pendidikan Dasar
Sampai Bryana berumur 8-9 tahun, kebanyakan buku pelajarannya masih dibacakan Linda karena Bryana masih harus banyak berlatih untuk jadi pembaca yang mahir. Dia mulai dengan membaca buku-buku yang relatif mudah, sementara Linda membacakan buku-buku cerita klasik dan sejarah yang lebih rumit. Setiap satu porsi bacaan pendek, Linda meminta Bryana menceritakan kembali apa yang diingatnya dari bacaan itu. Charlotte Mason menyebut ini “narasi lisan” atau “mengarang lisan”.
Tolong dicermati bahwa tahap narasi lisan adalah cara anak mempelajari keterampilan-keterampilan dasar mengarang. Coba saja bayangkan prosesnya. Apa yang harus kita lakukan sebelum menulis suatu karangan?
- Kita musti mengingat-ingat hal apa saja yang ingin kita tulis dan menata urutannya.
- Kita harus menentukan mana yang penting untuk diceritakan dan mana yang sebaiknya tidak perlu dibahas.
- Kita akan memakai frase-frase penghubung yang tepat seperti “kemudian” dan “setelah itu”.
- Kita musti mengingat-ingat nama-nama orang dan tempat, memikirkan soal sebab-akibat, dan sebagainya.
Anak mengerjakan semua proses berpikir rumit ini di dalam kepalanya dan belajar mengungkapkannya kepada kita. Maka, jangan dulu kita pecah perhatiannya dengan menyuruhnya menulis. Di umur 7-9 tahun, seorang anak baru melancarkan kemampuan menulisnya, itu masih merepotkan baginya.
Setelah bisa menulis alfabet, Bryana mulai menyalin kutipan-kutipan kesukaannya dari buku bacaan. Cukup sepuluh menit sehari. Selain sebagai latihan menulis, kegiatan ini membantunya mengamati contoh-contoh kalimat yang tersusun baik. Dari sinilah ia belajar memahami aturan memenggal kata dan pemakaian huruf besar-kecil. Dia akan terus menyalin bacaan sastra dan puisi sampai akhir masa sekolahnya. Semua ini menjadi bahan dasar atau bekal seorang penulis yang handal.
Masa Akhir Pendidikan Dasar
Menurut Charlotte Mason, anak-anak harus sering dan setiap hari dilatih narasi lisan selama beberapa tahun sebelum belajar membuat karangan tertulis. Baru setelah Bryana menjelang sepuluh tahun, dia diminta menuliskan narasinya. Pada usia ini, dia telah mahir menarasi lisan dan terampil memegang pensil, sehingga peralihan dari lisan ke atas kertas sudah jauh lebih mudah baginya.
Bryana diberitahu, dia cukup menulis apa yang dia ingin narasikan secara lisan. Awalnya, dia cuma menulis 3-4 baris, tapi lambat laun meningkat menjadi 1-2 halaman. Linda memberitahu putrinya itu untuk tidak sekedar membuat rangkuman garing. Bryana diharapkan memasukkan detil-detil menarik dari bacaan dan menggunakan kata-kata khas yang dipakai pengarang aslinya. Supaya tidak terlalu lama dan melelahkan, waktu membuat karangan ini biasanya dibatasi sekitar 20 menit.
Sau tahun pertama, narasi Bryana penuh dengan kesalahan mekanis. Namun, sesuai nasihat Charlotte Mason, orangtua/guru janganlah terlalu suka mengkritik. Sebaliknya, temukan selalu sesuatu yang patut dipuji dari karya anak, kemudian tunjukkan satu saja perkara yang perlu diperbaiki atau cermati lain kali per sesi. Diam-diam, Linda mencatat sendiri kata-kata yang salah eja, lalu melatihnya di sesi mengeja/dikte beberapa hari kemudian. Atau kadang memang tak perlu dikoreksi sama sekali.
Makin lama, Bryana makin sering diminta menulis dengan tingkat kesulitan yang bertahap meningkat. Sekali-sekali, tunjukkan 1-2 kesalahan yang perlu diperbaiki, namun selebihnya, “Lebihlah berperan sebagai pemandu sorak, bukan kritikus,” kata Linda.
Kalau merasa menulis bukan bidang yang kita kuasai, carilah buku-buku panduan penulis, pedoman ejaan, dan sejenisnya sebagai rujukan. Beberapa kesalahan yang tampak jelas bisa langsung kita beri catatan, seperti pemakaian kata yang berulang-ulang seperti dan dia begini dan dia begitu, atau lalu dia begini lalu dia begitu. Beri anak masukan semampu-mampunya kita.
Yang menarik adalah sambil jalan, tulisan anak membaik dengan sendirinya. Itu karena dalam metode CM dia terus terpapar pada karya-karya terbaik dari penulis-penulis terbaik. Tak bisa tidak, pengaruh kualitas bacaannya itu mengalir lewat penanya.
Masa Pendidikan Menengah Pertama
Saat berumur dua belas, Bryana tiap hari menuliskan narasinya. Tulisannya jadi makin menarik dan dia kerap meniru gaya menulis pengarang tertentu. Dia bisa juga gonta-ganti gaya, tergantung siapa pengarang dan apa buku yang sedang dia baca saat itu. Ini pencapaian mengagumkan, karena bahkan tidak semua penulis profesional bisa melakukannya. Semua ini sekali lagi akibat kaya dan beragamnya literatur yang pernah dia baca.
Di tahun-tahun ini juga, atas dorongan Linda, Bryana mulai menulis di blog pribadi. Memiliki audiens yang lebih luas adalah insentif tersendiri bagi seorang penulis. Linda memberi pengertian pada Bryana, karena mungkin akan dibaca ribuan orang, dia harus sangat hati-hati agar bisa merangkai kata-kata yang baik dan perlu menyunting hasil tulisan sebelum mempublikasikannya.
Meski tidak ikut campur dalam mengurus blog, Linda ikut memeriksa semua tulisan yang akan di-posting. Hanya tulisan yang berbobot yang lolos dari seleksinya. Bryana mempublikasikan sebagian narasinya. Dia juga mulai menulis kritik buku dan film. Dimulai dari menjelaskan mengapa dia setuju atau tidak setuju dengan aksi para tokoh dalam cerita-cerita itu, Bryana bergeser dari sekadar melaporkan isi cerita ke arah esai kritis. Antusiasme menulisnya meningkat secara signifikan, begitu pula kemampuannya sebagai penulis.
Masa Pendidikan Menengah Atas
Bryana menulis 2-3 narasi per hari. Dia mulai mengembangkan gaya menulisnya sendiri yang unik. Hal ini wajar saja karena ia sebelumnya telah bereksperimen dengan berbagai gaya. Sekitar usia 14 tahun, dia mempelajari buku Elements of Style karya Strunk & White. Menurut Charlotte Mason, rentang usia SMA inilah masa terbaik untuk mengajari anak menulis esai formal, dengan strukturnya yang tertata, dari bagian pendahuluan sampai kesimpulan.
Setelah bertahun-tahun menulis narasi, Bryana cepat sekali belajar membuat esai formal yang bagus. Sekali sebulan dia berlatih menulis satu esai formal tentang salah satu topik menarik dari buku-buku bacaannya. Keterampilan barunya ini memudahkan dia saat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi (SAT).
Ada banyak pihak yang bilang anak harus diikutkan kursus menulis supaya sukses dalam tes menulis SAT, tapi bagi Linda, itu semua sebetulnya tidak perlu. Semua penulis sukses sepakat bahwa kursus menulis tidak melahirkan penulis yang bagus. Banyak-banyak membaca literatur berkualitas dan terus menulis, menulis, dan menulis, itulah yang menghasilkan penulis hebat.
Bahkan sebelum menyelesaikan tahap SMA-nya, Bryana sudah menjadi kontributor untuk dua jurnal politik dan beberapa jurnal puisi. Dia menerbitkan bukunya yang pertama tahun 2012. Sekarang, menulis adalah panggilan hidupnya. Dia menulis untuk mengkomunikasikan apa yang ia percaya sebagai kebenaran.
Bukan hanya Bryana, tiga anak Linda Fay yang lain juga mahir dan antusias menulis. Mereka merasa butuh menulis karena punya hal penting untuk diungkapkan. Setiap anak melewati tahapan yang kurang lebih sama dengan Bryana – tahapan yang sederhana tapi menyeluruh: dilandasi pengalaman membaca yang kaya atas literatur berkualitas, seraya menyerap kehebatan para penulis dan sastrawan cemerlang itu lewat proses menyalin, narasi lisan, dan narasi tertulis.
“Apabila Anda dengan setia dan tepat menerapkan metode Charlotte Mason ini,” kata Linda Fay, “anak-anak Anda akan menjadi penulis yang mahir tanpa harus membayar kursus-kursus mahal.”
no replies