KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
December 4, 2013  |  By Ellen K In Refleksi CM
Sistem Pendidikan yang Kompetitif, Untuk Apa?
Apa dampak kompetisi bagi proses belajar? (Dok. Istimewa)
Apa dampak kompetisi bagi proses belajar? (Dok. Istimewa)
Post Views: 279

“Waktunya telah tiba bagi para orangtua yang berpikir untuk introspeksi dan menimbang tidakkah dia harus menentang sistem ujian yang kompetitif. Cermati baik-baik, problem utamanya ada di kompetisi, bukan ujiannya. Yang kita minta adalah sistem ujian janganlah kompetitif.” (Parents and Children, hlm. 218)

 

Anak masuk ke sekolah dengan rasa ingin tahu yang besar, tetapi mengapa kemudian saat dia lulus, hasrat belajar itu malah padam? Jawaban: karena ada hasrat lain yang dikobarkan untuk menggantikannya – hasrat berkompetisi.

Sistem kompetitif memudahkan kerja pengajar. Anak-anak belajar dengan giat, menggarap PR, membuat tugas walau bukan lagi supaya tahu, melainkan supaya tidak kalah atau malu. Tak lupa ditekankan: betapa mulianya anak yang bisa berprestasi dan membanggakan orangtua!

​Masalahnya, ketika semua anak harus belajar materi yang sama dengan cara yang sama dalam rentang waktu yang sama (supaya bisa diukur siapa yang paling hebat), maka anak dikondisikan untuk tak lagi menanyakan hal-hal ‘nyeleneh’ seperti masa pra-sekolah. Target kurikulum mesti tercapai, jangan menghambur-hamburkan waktu. Rasa ingin tahu? Simpan saja dulu. Dan dia pun menyimpannya, sampai layu. ​

Alinea di atas adalah sepenggal dari serial ringkasan volume Parents and Children  yang membangkitkan banyak tanggapan di grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia. Muncul pertanyaan mendasar: Kompetisi itu sebetulnya baik atau buruk bagi anak? Seorang ibu anggota grup mengatakan, dia pernah mendengar ada psikolog yang merekomendasikan kompetisi sebagai sarana meningkatkan prestasi dan kemampuan anak. Benarkah itu?

Lontaran tersebut membuat saya tergelitik untuk mencari tahu hasil riset-riset psikologis seputar kompetisi. Ada beberapa artikel dan jurnal yang saya baca. Dirangkum dalam artikel The Psychologist Vol. 25 (Juli 2012) bahwa secara jasmaniah, suasana kompetisi meningkatkan detak jantung, aktivitas otot, tekanan darah, hormon testoteron, kortisol, dan adrenalin – di  satu sisi menandai dikerahkannya kemampuan maksimal yang memungkinkan pencapaian prestasi tertinggi atau pemecahan rekor, di sisi lain (kalau tidak kuat), bisa menyebabkan kehabisan energi (breakdown).

***

Charlotte Mason sendiri memandang kompetisi sebagai dorongan alamiah tiap orang, yang lahir dari hasratnya untuk maju, dipuji, dan menjadi yang terbaik. Ketika dikerjakan secara berkelompok dalam suasana persahabatan, kompetisi itu menyenangkan dan positif. Namun, ketika persaingan menjadi terlalu obsesif, yang menang jadi sombong dan yang kalah jadi rendah diri atau ngamuk, lalu orang jadi menghalalkan segala cara untuk menang – ekses yang acap terlihat dalam ajang kompetisi di negeri kita – jelas situasi tak sehat lagi.

Dari semua ekses kompetisi, yang paling Charlotte waspadai adalah dampaknya terhadap hasrat akan pengetahuan. Setiap anak terlahir dengan hasrat untuk mempelajari segala hal di sekelilingnya. Anak-anak suka bertanya, bukan karena ingin juara, tapi karena memang ingin tahu. Bagi mereka, mengetahui itu saja sudah merupakan suatu kesenangan, learning is a pleasure in itself, itu sebabnya mereka suka belajar apa saja. Bagi Charlotte, rasa ingin tahu asali inilah yang idealnya menjadi motivasi utama anak dalam belajar. Jika anak terbiasa belajar karena merasa butuh dan suka, maka sepanjang hayatnya dia akan menjadi pembelajar mandiri.

Apa yang terjadi ketika kemudian anak masuk ke dalam sistem yang terobsesi pada nilai, ranking, angka rapor, transkrip ijazah, penghargaan, gelar juara, dan sejenisnya? Dia mulai menginternalisasi bahwa itulah tujuannya. Dia tak lagi belajar semata-mata karena senang belajar, tetapi karena diiming-imingi atau diancam. Benaknya disesaki oleh ambisi mendapatkan nilai setinggi-tingginya, menjadi juara satu; oleh kekuatiran jangan-jangan di rapor nanti ada angka merah, betapa malunya kalau sampai tidak naik kelas, dan lain-lain, sampai lupa nikmatnya belajar dan indahnya pengetahuan, tak sempat mengagumi ajaibnya alam semesta atau menyimak hebatnya ide dan karya orang besar sepanjang sejarah …

***

Kewaspadaan Charlotte disuarakan kembali saat ini oleh teori otonomi (self-determination theory). Para psikolog yang mendalami teori ini meramalkan bahwa kompetisi itu baik sejauh anak mengikuti kompetisi atas keinginannya sendiri, tetapi berdampak negatif pada motivasi anak yang merasa dipaksa berkompetisi. Kesenangan belajar bisa berkurang ketika motivasi intrinsik digantikan oleh imbalan ekstrinsik. Bahkan, seperti yang terungkap dalam penelitian Schwieren dan Weichselbaumer (2010), demi memenangkan imbalan ekstrinsik itu, kompetisi akhirnya bisa memunculkan perilaku curang.

Peter Gray, profesor riset dari Boston College, membahas secara gamblang perbedaan belajar demi belajar dan ‘belajar’ demi pamer. Meski sejatinya ingin menganalisis problem kesenjangan pendidikan, mengapa anak-anak tertentu sangat sukses secara akademis sementara sebagian lainnya hancur, Gray menggaungkan kegelisahan yang sama dengan Charlotte Mason, tentang betapa merugikannya model pendidikan yang kompetitif. Kata Gray: Kalau sekolah betul-betul tempat untuk belajar, bukannya untuk pamer, kita akan merancang persekolahan sama sekali berbeda.

Sekolah akan jadi tempat bagi  anak-anak untuk mengejar berbagai minat mereka, mempelajari apa yang mereka ingin pelajari, mencoba beragam pilihan karir, mempersiapkan masa depan seperti yang mereka harapkan.

Setiap siswa akan menggarap materi yang berbeda, dengan jadwal yang berbeda, sehingga tak ada landasan untuk memperbandingkan satu sama lain.

Setiap siswa akan belajar membaca ketika mereka ingin belajar membaca, dan kita akan membantu mereka ketika mereka mengharapkan bantuan.

​Titik pusatnya menjadi kerjasama, bukan lagi persaingan.

***

​Pada akhirnya, kita perlu menjawab bagi diri kita sendiri setiap kali muncul dorongan dalam hati kita untuk menerjunkan anak (atas inisiatif kita, bukan inisiatifnya) entah ke dalam sistem kompetitif sekolah atau ke dalam kompetisi apa pun: ini sebetulnya demi apa?

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StorySekolah, Tempat Belajar atau Pamer?
Next StoryEndangered Minds #1: Otak Anak Zaman Sekarang Beda?

Related Articles

  • Tiga Serangkai
    Pendidikan yang Melahirkan Orang-orang Besar
    View Details
  • Arah jelas, langkah tegas.
    Langkah Penting Memulai Homeschooling (dan Menjadi Praktisi CM)
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6 February 3, 2021
  • Yang Harus Dibenahi dalam Pendidikan Sains Kita February 2, 2021
  • Podcast #33: Proses Belajar Menulis Kreatif ala Metode CM January 30, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi 150 views | 0 comments | by admin | posted on February 28, 2021
  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 139 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Mengapa Anak Tantrum dan Cara Terbaik Menghadapinya 68 views | 0 comments | by Ellen K | posted on August 1, 2012
  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 56 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 38 views | 0 comments | by admin | posted on February 18, 2021

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 50

Yesterday: 521

This Week: 2594

This Month: 10999

Total: 244283

Currently Online: 100

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.