KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
December 23, 2016  |  By admin In Opini
Reformasi UN yang Fundamental dan Kemerdekaan Belajar
Ujian Nasional perlu direformasi. (Dok. Istimewa)
Ujian Nasional perlu direformasi. (Dok. Istimewa)
Post Views: 88

Oleh: Najeela Shihab*

Reformasi pendidikan di Indonesia selama ini berkutat di soal legislasi guru dan kurikulum. Reformasi sistem penilaian dan ujian nasional (UN), yang amat mempengaruhi keberhasilan reformasi pendidikan, malah belum tersentuh secara fundamental.

Sayangnya lagi, kesibukan “reformasi” assessment adalah keberisikan sesaat semata. Sulit untuk tidak melihat urusan UN sebagai keputusan yang didominasi kepentingan politik, quick win atau kampanye sesaat.

Keputusan Pemerintah melanjutkan UN di tahun 2017 sejatinya tidak substantif, dalam arti memikirkan tujuan assessment dalam sistem pendidikan, apalagi manfaat untuk siswa sebagai subyek pendidikan. Padahal, “kekuatan” UN luar biasa. Walaupun anggarannya hanya 0.1% dari total anggaran fungsi pendidikan, kebijakan ini menyangkut puluhan juta orang.

Efektifkah Ujian Nasional?

Peningkatan mutu membutuhkan proses assessment utuh terhadap semua standar dan pemangku kepentingan. Akan tetapi, proses perbaikan dan implementasi kurikulum 2013 (K13) selama ini tidak diawali dengan perubahan penilaian pendidikan.  Tugas pemerintah berkait assesment banyak. Disadari atau tidak, tugas ini baru “diselesaikan” dengan UN, yang bahkan untuk menjadi definisi kesuksesan siswa pun belum cukup.

Efektivitas UN bisa dijawab bila kita mengembalikannya pada tujuan esensialnya. Apakah UN sebetulnya untuk memperluas akses, mempercepat pencapaian mutu dan mengurangi kesenjangan pendidikan? Alat assessment seyogyanya bertujuan jelas tanpa dicampur aduk: mendiagnosa atau memetakan, menseleksi atau mensertifikasi kompetensi. UN sekarang dibebani semua tujuan. UN saat ini seolah indikator tunggal siswa sukses, guru kompeten dan sekolah bermutu dan favorit.  Tak heran walaupun tidak menentukan kelulusan, kepentingannya tidak berkurang signifikan. Kondisi ini menghambat tumbuhnya ekosistem pendidikan.

Untuk mengukur hal sederhana pada satu waktu, seperti tinggi dan berat badan memerlukan meteran dan timbangan, menilainya dalam cm dan kg. Bagaimana bisa menggambarkan pendidikan kompleks dengan satu angka hasil UN di akhir jenjang? Indonesia membutuhkan assessment siswa yang berbeda untuk masing-masing fungsi.

UN memiliki keterbatasan. Kompetensi yang bisa tergambar lewat satu kali tes pilihan berganda sangat terbatas. Angka rata-rata hasil UN misalnya berbeda sekali dengan angka Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih komprehensif menggambarkan perekonomian suatu negara. Akreditasi sekolah kita masih lebih banyak melabel dan belum membantu sekolah mandiri mengembangkan kapasitas. Penilaian kinerja guru masih terbatas mengetes pengetahuan atau teknik mengajar, belum mendorong kompetensi sosial kepribadian dan sosial guru untuk merdeka belajar.

Manfaat Bagi Siswa

Saat berbicara tentang asessment, fungsi terpenting adalah manfaatnya bagi siswa. Namun percakapan kita terbatas pada teknis pelaksanaan ujian, bukan apa yang terjadi sesudahnya. Di saat terjadi perbedaan pendapat antara anggota legislatif, pakar, guru maupun orangtua, siswa cenderung sepakat menolak UN. Ini bukan bukti kurangnya sikap kerja keras, atau perlunya tetap UN untuk “motivasi”.

Sikap negatif siswa adalah umpan balik terpenting mengenai gagalnya UN. Siswa didorong oleh motivasi internal untuk terus memahami displin ilmu dan membutuhkan penilaian informatif dan bermakna. Rendahnya jumlah siswa yang memilih melakukan ujian perbaikan, tingginya kecurangan sistematis UN, jelas menunjukkan bahwa kewajiban UN telah menumbuhkan pemahaman salah terhadap pendidikan dan belajar.

Apapun alternatif assesment yang akan dikembangkan pemerintah, perlu mempertimbangkan pemenuhan hak siswa serta kewajiban negara secara seimbang. Opsi harusnya ada pada siswa. Siswa memilih jenis sertifikasi yang dibutuhkan atau alat seleksi yang bermanfaat untuknya. Ini akan menjadi situasi ideal untuk mendorong pemerintah terus meningkatkan kualitas alat ukur serta berfokus pada dampak nyata yang dirasakan siswa.

Moratorium UN, Otonomi Daerah, dan PR Besar Pemerintah 

Usulan kerangka strategis penilaian sudah dibahas banyak pemangku kepentingan, namun keterbatasan kapasitas membuat agenda ini tidak menjadi prioritas alokasi sumberdaya. Moratorium sejatinya bisa memberi kesempatan refleksi utuh tanpa beban penyelenggaraan UN di tahun berjalan.

Reformasi assesment dan moratorium UN juga tidak terpisah dari konsep otonomi, yang menyangkut pembagian tugas dan fungsi pemerintah pusat dan daerah maupun kewenangan guru dan satuan pendidikan. Pengalaman penghentian UN jenjang SD yang digantikan oleh Ujian Sekolah (diselenggarakan dalam bentuk ujian daerah) perlu dimonitor dan dievaluasi. Implementasinya seringkali lebih buruk daripada UN, karena kapasitas pemerintah daerah, LPMP, KKG, dan MGMP belum optimal. Peran pusat terbatas pada menyumbangkan 25% soal, belum mendorong meningkatnya standar alat ukur dan standar nasional pendidikan. Belum terlihat konsolidasi hasil dan pembinaan sistematis yang menindaklanjuti.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang mengujicoba Indonesian National Assessment Program sebagai alat pemetaan. Fungsi pemetaan ini tidak butuh pengukuran setiap tahun pada semua siswa. Selanjutnya alat seleksi dan sertifikasi juga perlu dikembangkan. Dalam  seleksi, banyak evaluasi yang bisa dipelajari dari seleksi masuk perguruan tinggi yang tidak lagi menggunakan UN sebagai indikator.

Akhirnya, ujian sesungguhnya dalam pendidikan kita, bukan ujian nasional. Tetapi, apakah pemerintah mampu “lulus” ujian publik. Akankah Pemerintah mewujudkan agenda program prioritas Nawacita untuk mengevaluasi model penyeragaman lewat UN? Akankah Pemerintah mengikuti putusan MA di tahun 2009 yang mensyaratkan pemenuhan beberapa kondisi standar pelayanan sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian terstandar nasional? Kita harap Pemerintah punya tujuan dan aspirasi yang jelas, cetak biru yang strategis serta data dan umpan balik yang konsisten.

* Najeela Shihab, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, bermukim di Jakarta.

Facebook Comments

Article by admin

Previous StoryHartati, Tak Gentar Ancaman Tembak di Tempat Demi Ibu Bumi
Next StoryAroma Pengaruhi Emosi dan Perilaku Sosial Anak

Related Articles

  • reading NPR resized
    Apa Pentingnya Anak Belajar Sastra dan Puisi?
    View Details
  • keluarga Putri crop
    Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6 February 3, 2021
  • Yang Harus Dibenahi dalam Pendidikan Sains Kita February 2, 2021
  • Podcast #33: Proses Belajar Menulis Kreatif ala Metode CM January 30, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 154 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 78 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • Mengapa Anak Tantrum dan Cara Terbaik Menghadapinya 70 views | 0 comments | by Ellen K | posted on August 1, 2012
  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi 43 views | 0 comments | by admin | posted on February 28, 2021
  • 32 views | 0 comments | by Ellen K | posted on February 13, 2019

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 448

Yesterday: 611

This Week: 448

This Month: 13177

Total: 246461

Currently Online: 149

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.